Shangkara

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #93

Patala

Bandara Nagendra, 14 Agustus 2011, malam hari. Saat itu pak Arya terlihat gelisah menunggu kedatangan lima anak yang mengubah pandangannya. Ia duduk bersila di ruang tunggu meski waktu sudah larut malam. Entah berapa cangkir teh yang telah ia habiskan, dan cerutunya pun tinggal seujung jari.

"Harusnya aku paksa anak-anak itu ikut bersama rombongan lainnya. Ini sudah dua hari sebelum pelaksanaan dan mereka belum datang juga. Kalau tidak salah, penerbangan terakhir sudah tiga puluh menit yang lalu, tapi mengapa mereka belum datang? Apa mereka langsung menuju arena? Ah, belum ada arahan dariku. Kalau mereka macam-macam, bisa jadi masalah ini. Harus kuberitahukan hal ini. Tinggal mereka berlima—Lintang, peserta terkuat dari Sahasradwipa; Steve, meskipun dari negeri lain tapi kesayangan para guru di rumah swarocisa. Mungkin aku tak terlalu khawatir pada mereka karena tahun lalu juga ikut. Tapi tahun ini, entah kenapa rasanya agak berbeda. Yusuf, Alim, Ihsan… tiga anak ini sudah dipromosikan menjadi atirathi. Kompetisi devasena tahun ini mungkin kesempatan mereka untuk mendapatkan promosi penuh dan diangkat secara resmi. Dasar anak-anak edan, bahkan kedua kakak mereka belum dapat promosi sampai akhir kompetisi devasena. Kalau benar tahun ini mereka diangkat, ini akan menjadi rekor terbaru," gumam Arya sambil mengisap cerutu terakhirnya yang akhirnya ia matikan.

Tiba-tiba deru suara pushpaka vimana terdengar dari kejauhan. Beberapa juru parkir vimana langsung sigap mengarahkan lima vimana besar yang baru tiba. Hembusan angin kuat menerpa ke arah pak Arya, hingga kaca jendela di dekatnya bergetar keras.

"Apa-apaan mereka itu," gumam pak Arya saat melihat pintu-pintu vimana terbuka satu per satu, memperlihatkan Ihsan, Alim, Yusuf, Steve, dan Lintang yang keluar bersama tim masing-masing.

Seketika, pak Arya berdiri dan melangkah cepat menuju murid-murid kesayangannya itu.

...

"Ihsan, kamu gak mau pakai jaket? Dingin lho tempat ini," ucap Shafa dengan nada khawatir, sementara Ihsan hanya merentangkan tangannya lebar-lebar.

"Tenang saja Shafa, syal darimu sudah cukup hangat," jawab Ihsan penuh semangat.

"Ihsaaaan! Gimana kabarmu?" teriak Alim dari kejauhan.

"Baik, cak! Eh, barang cak Alim tolong dong, pak Uki," pinta Ihsan.

"Baik, mas, saya ambilkan dulu," jawab pak Uki sambil menurunkan barang-barang dari vimana.

"Heeii, kalian udah siap belum? Ihsan, Alim, aku udah merancang zirah viranci terbaru untuk kompetisi kali ini. Kuharap kalian siap, hehehe," seru Yusuf penuh semangat.

"Mak, udah siap aja nih kayaknya, semangat banget kelihatannya," ucap Steve sembari merasakan angin dingin menerpa jaketnya.

"Hahaha! Kita boleh saudara di luar, tapi di kompetisi ini gak akan kukasih kendor!" ucap Lintang dengan senyum menantang.

Sementara itu, Ihsan melompat keluar dari vimananya dengan ceria. Namun cuaca sama sekali tidak memihak—petir tiba-tiba menyambarnya dengan keras.

"Cah gobloook!!! Lagi badai salju gini malah melompat-lompat!" teriak Alim panik, berlari menuju Ihsan yang jatuh di tumpukan salju tebal.

"Masih ceroboh aja anak itu," pikir Yusuf sambil melesat terbang ke arah Ihsan.

"Ihsaaaan!" pekik Shafa, tubuhnya diselimuti bola api agar tak tersambar petir saat terbang menghampiri.

"Aduuuh, kok bisa-bisanya aku kena petir. Aku belum siap, jadi gak seru kalau udah begini," gumam Ihsan kesal.

"Kau tidak apa-apa, Ihsan?" tanya Shafa cemas saat tiba di sisinya.

"Hmmm, gak apa-apa kok. Eh, syalmu… hmm, huff, aman," ucap Ihsan sambil memegangi syal merah yang melingkar di lehernya.

"Baru aja sampai, udah kena masalah aja," ucap pak Arya yang baru datang dengan ekspresi lelah.

Alim segera membantu Ihsan berdiri dan memberi hormat kepada guru mereka itu.

"Mas Alim, ini barang titipan dari ibumu," ucap pak Uki sambil menyerahkan sepasang sarung tangan.

"Eh, terima kasih, pak," jawab Alim lalu melepas sarung tangan lamanya dan mengenakan yang baru.

"Hei, Ihsan! Mau sampai kapan kecerobohanmu itu sembuh?" geram Yusuf.

Lihat selengkapnya