Sesampainya di perkemahan Sahasradwipa, Ihsan, Alim, Yusuf, dan Lintang segera menuju kemah masing-masing untuk berlatih. Mereka dibedakan berdasarkan rumah belajar mereka, karena setiap rumah memiliki sudut pandang yang berbeda.
"Eh, ada siapa nih? Hmmph, udah dapat promosi aja, bossku," ucap seorang kakak kelas.
"Yow, mas. Iya, kebetulan udah dapat sebulan lalu. Saya Ihsan, salam kenal," sapa Ihsan.
"Feri, salam kenal juga. Emang kau ngapain aja selama ini sampai-sampai gak mau diantar pihak negara? Dah mau sok pahlawan, kah?" ucap Feri.
"Nggak tahu, mas Feri. Cuma pingin promosi aja, biasalah mau buka bisnis baru," ucap Ihsan.
"Ssshh… mau dapat tempat di sini meskipun terlambat. Timmu bisa kalahkan timku, tidak? Kurasa itu akan sulit. Gelarmu mungkin tidak mencerminkan kekuatan dasar, bodoh," ucap Feri.
"Aku tahu, mas Feri. Hmm, kenalkan, aku Rio. Tapi aku sarankan kau tidak memancing masalah dengan Ihsan," ucap Rio.
"Apa masalahnya? Aku hanya ingin menjajal sekuat apa orang ini. Tapi setelah melihat perangainya, kukira dia tidaklah terlalu kuat," ucap Feri.
"Mas, bisa kau berhenti," ucap Rio sambil mengaktifkan rsinetranya.
"Rio!! Tahan dirimu! Kita tidak seharusnya bertengkar dengan senior sendiri. Maafkan temen saya, mas," ucap Shafa.
"Ooooh, dek Shafa. Jadi ini bentuk prajnaparamita itu setelah lebih dari tiga tahun aku tidak melihatnya. Cantik sekali kamu, dek. Mau main sama aku tidak?" ucap Feri, namun seketika kedua lengannya tertebas pedang.
"Maaf, mas. Aku gak bisa main sama orang yang gak punya tangan," ucap Shafa dengan tenang.
"Arrrrgh! Apa yang kau lakukan!?" teriak Feri setelah menyadari kedua tangannya terpotong.
"Kau menebas lenganku rupanya, Ihsan! Aku memang dengar kemampuan elemen anginmu sangat kuat, tapi menyerang saat aku lemah adalah tindakan pengecut! Kalau kau ingin melindungi wanita yang kau cintai, lakukan dengan jantan!" ucap Feri yang menyangka Ihsan pelakunya.
"Aku tidak melakukan apa pun, mas. Lagipula itu juga bukan elemen angin," ucap Ihsan dengan santai.
"Aku yang menebas lenganmu, bocah tua. Memangnya apa yang kau harapkan dari umurmu, sehingga kau berpikir bisa mendapatkan apa pun dari adik tingkatmu," ucap Shafa dengan marah.
"Hmm, memalukan. Ditebas oleh seorang wanita. Untung saja bukan aku yang melakukannya. Kalau tidak, bisa mati orang ini. Eh, kau kok santai banget, Shafa diganggu, Ihsan?" ucap Rio.
"Santai aja. Shafa bisa membela dirinya sendiri, dia kan kuat. Eh Rio, bholenath milikmu sudah kau kembangkan belum akurasinya?" ucap Ihsan.
"Aman aja kalau itu. Aku ada rsinetra kok, bisa meningkatkan akurasi dan kualitas energi ini, mah. Ssshh… kau gimana? Percuma aja kuat kalau gak kena," ucap Rio.
"Hmm, aku juga berlatih kok, Rio. Kan kita latihan bersama. Eh mas, maaf ya gak bisa nolong. Kau cari masalah dengan kehormatan seorang wanita, kau perlu dimaafkan dulu baru aku bisa menolongmu," ucap Ihsan.
"Sembuhkan saja dia, Ihsan. Rugi juga kalau peserta dari Sahasradwipa berkurang satu. Kasihan timnya," ucap Shafa.
"Ok, bentar ya mas," ucap Ihsan sembari membersihkan luka bakar Feri dan menyembuhkan kedua lengannya hanya dengan membuka telapak tangannya.
"Jangan diulangi ya, mas," ucap Ihsan.
"Baiklah, Ihsan. Maafkan aku," ucap Feri yang masih ketakutan.
"Monster macam apa mereka ini? Apa saja yang sudah mereka lewati sampai bisa sekuat ini? Bukannya dulu anak bernama Ihsan itu adalah yang paling lemah? Bagaimana caranya bisa dengan santai menyembuhkan kedua lenganku tanpa menyentuh? Ini gila… mereka bahkan lebih kuat dari Lintang yang menghajarku tahun lalu di babak bertahan hidup. Sungguh pasangan yang mengerikan," pikir Feri sambil menelan ludahnya.
Sesaat sebelum mereka menaruh barang masing-masing di wilayah kemah yang terpisah antara lelaki dan perempuan, Shafa menatap Ihsan dengan wajah agak kesal.
"Ihsan, kenapa tadi kamu tidak membelaku?" tanyanya.
"Hei, Shafa, kita bisa kena masalah nanti kalau Ihsan tidak sengaja membunuh orang tadi," ucap Rio.
"Kendali energi Ihsan jauh lebih baik daripada yang kau bayangkan, Rio. Dia bisa saja tidak membunuhnya," balas Shafa.
"Maaf, Shafa. Aku percaya dengan kekuatanmu, tapi kalau memang tadinya kau mau aku membelamu, maaf banget, aku kurang paham dengan kodemu," ucap Ihsan.
"Kami tidak seharusnya diam saat melihatku dilecehkan seperti itu. Bahkan jika kamu tidak mengenalku, kamu harusnya lebih bisa melindungi seorang wanita," ucap Shafa.
"Shafa, kau tidak bisa terus mengeluh atas semua permasalahanmu padaku. Kalau dirimu bisa mengatasi masalahmu sendiri, kau tidak perlu sampai minta bantuan orang lain yang belum tentu ada," ucap Ihsan sembari tersenyum.
"Tapi kalian ada di sebelahku tadi. Tidakkah dirimu punya sedikit hati untuk membantuku?" ucap Shafa.
"Hal terbaik yang bisa kulakukan tadi adalah diam. Kalau aku membantumu mengalahkan orang yang bisa kau sendiri atasi, kau akan selamanya diganggu. Tapi kalau dirimu masih tidak bisa menerimanya, setidaknya maafkanlah aku," ucap Ihsan dengan tenang.
"Iya, kau benar, Ihsan. Maaf sudah membentakmu untuk alasan yang tidak jelas seperti ini," ucap Shafa.
"Tenang saja, aku memaafkanmu kok. Setelah latihan nanti kita diskusikan nama tim kita ya, sekalian milih ketua. Aku mau berlatih dulu," ucap Ihsan.
"Iya, Ihsan. Jaga dirimu ya," ucap Shafa.
"Siap, Bu. Terima kasih," ucap Ihsan sembari pergi dari sana.
"Rio, jaga Ihsan ya. Dia kadang ceroboh," pinta Shafa.