“Sreekkkk…srekkkk…”. Bunyi daun ketapang menyentuh atap rumah. Bergesek, memecah keheningan. Sesekali rintik sisa air hujan jatuh dari ujung dedaunan. Sementara angin masih berkeliaran, membawa suhu dingin pada setiap orang yang memilih pergi ke luar rumah.
Pagi-pagi sekali emak sudah sudah bangun, padahal adzan belum terdengar berkumandang, sepanjang malam aku mendengar langkah kaki emak, entah itu duduk di ruang tamu, pergi ke kamar, dapur, mengecek kamarku, begitulah seterusnya. Beberapa kali ku dengar emak membuka pintu kamarku yang sengaja tidak aku kunci. Aku yang sepanjang malam tak bisa tidur, entah apa sebanya, mungkin karena tadi selepas isya aku minum kopi di rumah Reno. Tetanggaku.
Masih terngiang di kepalaku apa yang dilakukan emak malam tadi. Ia melangkahkan kaki masuk ke kamar, mendekatiku yang sedang membelakanginya. Berpura-pura tidur. Ditariknya selimut yang hanya menyelimuti sebatas pinggangku, menyelimuti seluruh tubuhku agar tak kedinginan. Dielusnya kepalaku. Tangannya yang kasar terasa halus bak sagu dari warung Bik Rom.
Aku tahu apa yang terjadi dengan emak, aku tahu apa yang ada di pikirannya. Hal yang membuat emak tak bisa memejamkan mata-tidur. Ku tahan sekuat mungkin genangan air yang ada dipelupuk mataku. Aku tahu kalau mata emak dari tadi sudah memancarkan gerimis.