Pukul sembilan kurang lima belas menit. Bus yang aku naiki telah menyalakan mesin, tanda sebentar lagi keberangkatan. Semua barang penumpang telah dimasukkan ke dalam bagasi yang berada di bawah kaki. Barang menurutku melebihi kapasitas. Ini adalah awal tahun ajaran baru, itu sebabnya penumpang sangat ramai. Aku sudah menduganya jauh-jauh hari. Padahal kalau hari-hari biasa maka penumpang bus ini bisa dikatakan sangat miris. Maklum saja, hanya sebuah angkutan yang menyambungkan suatu tempat kecil nan tertinggal dengan kota yang cukup besar.
Aku menaiki bus melalui pintu belakang. Bus hampir penuh, semua bangku telah ada yang menduduki. Ku lihat kembali tiket dari kertas yang sudah dibeli tadi. Bangku nomor sebelas. Aku mulai mencarinya, melangkahkan kaki-berjalan ke bagian depan, Bus ini hanya menyiapkan dua baris bangku, sebelah kanan dan sebelah kiri. Setiap baris terdiri dari dua deret bangku. Sehingga bangku seperti berpasang-pasangan.
Di sebelahku-bangku nomor sepuluh, duduk seorang pria muda, ku taksir usianya tidak jauh denganku. Ia mengenakan jaket. Pria itu sedikit jangkung. Ia memandang ke luar jendela, memakai earphone. Di lehernya selintas dapat kulihat semacam ukiran-tatoo, ukiran itu tidak begitu jelas. Tapi terlihat sekilas mirip dengan ular yang sedang melilit.
Aku tidak berniat menyapanya lebih dulu. Bukan karena takut dengan pakaiannya yang seperti preman. Hanya saja tak mau mengganggunya, nampaknya ia tengah asyik memandang pemandangan luar dari balik jendela kaca. Sembari mengoyangkan kepala lantaran alunan musik yang keluar dari earphonenya.