Jepang tengah membeku, angin yang mengiris pohon-pohon sakura menyebarkan kristal-kristal es di bunga-bunga musim seminya yang mekar. Kami harus tinggal di sana selama hampir tiga minggu, setelah telegram genting dari sang kaisar tiba di tangan kami di Hong Kong; orang-orang terus berkeras bahwa daerah pedesaan Jepang akan indah pada bulan Mei.
Keuntungan terbesar dari menetap selama tiga minggu itu adalah berhentinya mimpi-mimpi yang menghantuiku selama perjalanan dari Bombay. Aku tidur dengan nyenyak—awalnya waspada, kemudian dengan relaksasi lambat penuh pertahanan diri. Apa pun penyebabnya, mimpi-mimpi itu telah menghilang.
Namun, dua belas jam setelah sauh diangkat di Tokyo, aku tersentak dari tidur lelapku karena benda-benda beterbangan dalam pikiranku.
Setelah tiga hari keluar dari negara kepulauan itu, hujan berhenti dan sesekali matahari redup bersinar menembus awan kelabu. Hawa dingin membuat kebanyakan penumpang, setelah berjalan-jalan keluar sejenak di beberapa dek, berdiam di sepanjang jendela-jendela di sisi kapal yang terekspos, bagaikan sekian banyak kucing mengantuk. Namun, aku meminta sehelai selimut piknik dari purser—petugas yang mengurusi keperluan kapal—dan menemukan sebuah kursi di dek yang tidak tertiup angin. Di sana, terbungkus hingga dagu dengan topi yang menutupi rambutku yang sangat pendek, aku tertidur.
Saat menjelang sore, Holmes muncul membawa secangkir kopi panas. Sebenarnya, kopi itu bisa dikatakan hangat kuku dan setengah isi cangkir tumpah di pisin; meskipun begitu, aku duduk dan mengeluarkan sebelah lenganku untuk menerimanya, kemudian membebaskan lengan satunya agar bisa menuangkan isi pisin kembali ke cangkir. Holmes bertengger di sebuah kursi di dekatku, mengeluarkan pipa dan kantong tembakaunya.
“Kapten bilang kita akan segera sampai tujuan,” Holmes berkomentar.
“Aku lega badai sudah bertiup pergi,” sahutku. “Aku bisa benar-benar menghadapi meja makan malam ini.” Sesuatu tentang sudut berembusnya angin beberapa hari terakhir ini telah mengguncang dan mengayun kapal lebih hebat daripada biasanya.
“Kau belum makan apa-apa tiga hari ini.” Holmes tidak menyukai kondisi lemah perutku.
“Nasi,” aku menyanggah. “Dan teh.”
“Atau tidur,” dia menambahkan, menyalakan pemantik antiangin dan memeganginya di atas mangkuk pipa.
Aku tidak membantah tuduhan itu. Sesaat kemudian, bagaikan mengetahui komentarnya tidak membutuhkan jawaban, dia melanjutkan.
“Kau sudah memikirkan lagi untuk berhenti di Hawaii?”
Aku menahan kuap dan menyimpan cangkir kosongku di lengan kursi yang lebar, kembali berlindung dalam kehangatan selimut. “Terserah padamu, Holmes. Aku akan senang mampir di sana jika kau juga. Berapa hari kita harus menunggu kapal berikutnya?”
“Biasanya tiga, tapi sepertinya kapal berikutnya telah kembali ke Tokyo untuk perbaikan, artinya kita bisa berada di sana selama seminggu.”
Aku membuka sebelah mata, tidak mampu membaca suaranya, apalagi ekspresinya yang tertutup asap, dan ke mana arah pembicaraan ini. “Seminggu adalah penundaan yang cukup lama,” aku memberanikan diri berkata. “Terutama jika Hawaii masih mengalami kesulitan Masa Pelarangan Minuman Keras.”
“Setengah hari bisa berarti berjalan-jalan lama dan duduk di sebuah meja tanpa perlu mencoba mengarahkan sendok sup yang terus goyah ke mulutku. Keduanya akan cukup menyenangkan.”
“Kemudian empat hari lagi menuju San Francisco.” Pengamatan yang tak berguna dan tak penting ini sama sekali bukan tindakan khas Holmes. Sebenarnya, seluruh percakapan ini sama sekali bukan percakapannya yang biasa, aku berpikir, menyipitkan mata menatapnya, melawan silau. Dia menggigit pipa tembakaunya, dan sedang berkonsentrasi menggulung sebungkus tembakau, jadi aku memejamkan mata lagi.
“Terra firma,” aku berkata. “Seminggu di California, membereskan urusan, kemudian kita bisa pulang. Menggunakan kereta api.” Aku tidak mengalami mabuk laut di atas kereta.
“Seminggu akan cukup, menurutmu?”
“Untuk membereskan dokumen-dokumen penjualan rumah dan bisnis? Lebih dari cukup.” “Dan itulah yang telah kau putuskan akan dilakukan.” Dialog santai, pseudo-Socrates ini mulai menyebalkan. “Apa maksud pembicaraanmu ini, Holmes?”
“Mimpi-mimpimu.”
“Ada apa dengan mimpi-mimpiku?” aku menukas. Aku seharusnya tidak menceritakan itu padanya, meskipun pasti sulit untuk tidak melakukannya, mengingat jarak kabin-kabin kamar yang sangat berdekatan.
“Aku harus berkata bahwa itu mengindikasikan derajat kegelisahan tertentu.”
“Oh, demi Tuhan, Holmes, kau kedengaran seperti Freud. Pria yang di otaknya hanya dipenuhi seks. ‘Ruang-ruang dalam mimpi secara umum adalah perempuan,’ dia menyatakan. ‘Sebuah mimpi melewati serangkaian ruangan mengindikasikan suatu rumah bordil, atau pernikahan’—aku tak dapat membayangkan seperti apa pernikahannya sendiri sehingga bisa begitu yakin menghubungkan dua hal itu. Dan kuncinya—astaga, kita bisa membayangkan simbol kekhawatiran karena memainkan sebuah kunci yang hangat di dalam sakuku! ‘Mimpi-mimpi biasa bisa menggambarkan hasrat-hasrat erotis secara alamiah.’ Lelaki tak berwajah itu pasti dia hubungkan dengan organ intim lelaki, dan objek-objek yang melesat liar ke udara—yah, aku jelas seorang perempuan gila. Ada apa tentang ‘hasrat erotis’-ku sehingga membaca buku lelaki membuatku butuh berendam air panas? Atau mungkin mandi di bawah pancuran air dingin.”
“Kedengarannya kau sudah meriset ini cukup menyeluruh.”
“Ya, baiklah, aku menemukan sebuah buku Interpretasi Mimpi Freud di perpustakaan kapal,” aku mengakui, kemudian menyadari bahwa aku juga mengakui lebih memercayai perasaan daripada berpikir dengan logis. Untuk mengalihkannya dari kesimpulan itu, aku berkata, “Aku tak menduga kau, dari semua orang, akan memercayai kegilaan Freud, Holmes.”
Wajahnya agak suram saat dia mendekat untuk merespons pengalihan topikku, kemudian dia menguasai diri, dan menangkis dengan kalimat ringan yang bisa menipu, “Suatu pengetahuan tentang jargon psikologi hampir tidak diperlukan saat harus menghadapi suatu pernyataan yang sama sekali tidak ambigu, yang ada dalam mimpi-mimpimu itu.”
“Apa maksudmu, tidak ambigu?” aku memprotes dengan marah, dan terlambat menyadari bahwa aku menginjak jebakan pengalihannya dengan telak.
“Gempa San Francisco, yang membuat benda-benda beterbangan, jelas paradigma dalam mimpi pertama. Dan ruanganruangan terkunci mungkin mewakili rumah keluargamu, yang berdiri tanpa penghuni selama sepuluh tahun, sementara kau berpura-pura itu tidak ada.”
“Sebuah rumah sering kali menyimbolkan diri seseorang,” aku berkata kepadanya, meskipun aku tak tahu mengapa aku ingin berdebat.
“Memang, meskipun sebuah rumah bisa saja hanya berarti sebuah rumah.”
Aku membuka selimut agar bisa menghadap ke arahnya tanpa halangan. “Holmes, kau gila. Aku hanya memiliki rumah itu selama tiga tahun, sejak berusia dua puluh satu, dan aku terlalu sibuk bepergian menempuh setengah lintasan bumi sehingga tidak bisa mengurusnya. Dan tentang fantasi gempamu, aku bahkan tidak ada di sini tahun 1906. Dan bagaimana tentang mimpi lelaki tak berwajah itu?”
“Belum cukup data untuk mengidentifikasinya,” Holmes berkata, sama sekali tidak ragu mendengar kata-kataku.
Aku menarik napas untuk mendebatnya, tetapi saat itu terjadi, aku tidak akan dipedulikan. Aku berdiri dengan penuh harga diri, dan hanya berkata, “Jika kau membayangkan kita akan sempat mengungkap data relevan itu di San Francisco, kau salah. Kita hanya akan cukup lama di sana agar aku bisa menandatangani dokumen-dokumen, kemudian mengejar kereta ke New York.”
Menyelipkan selimut di bawah lenganku, aku meninggalkan Holmes bersama pipanya.
Gempa bumi. Menggelikan.
Dia tidak membahasnya lagi, begitu juga aku, meskipun beberapa hari kemudian aku sering menyadari dia memperhatikanku, dan tahu bahwa pada malam hari dia juga terus terjaga, menungguku bicara. Namun, aku tidak bicara, dan dia pun tidak, dan seperti itulah, kami mengarungi Samudra Pasifik. Di antara mimpi-mimpi itu dan terbaring sambil terjaga dalam kengerian, aku jarang sekali tidur, dan aku mulai merasa bagaikan berjalan dalam balutan perban.
Hawaii adalah selingan menyenangkan, meskipun angin bertiup kencang dan pantai-pantai luas itu nyaris kosong. Kami berjalan berjam-jam, dan aku bahkan berhasil menyantap sesuatu, tetapi malam itu tidurku tidak lebih nyenyak.
Malam berikutnya, aku berkeliaran di kapal, naik-turun beberapa dek (sambil mencoba mengabaikan maksud Freudian yang tersirat dari memasuki tangga-tangga tertutup) hingga menemukan diriku berada di titik terjauh kapal, hanya ada air di hadapanku. Angin berhenti bertiup pagi itu, meninggalkan asap dari cerobong-cerobong asap membubung tegak di sepanjang lapisan-lapisan dek, yang menciptakan suatu susunan tempat terpencil tetapi tidak sehat untuk bermeditasi. Aku berada di dek terakhir, hanya sebuah pagar yang memisahkanku dengan Samudra Pasifik.
Dan di sana aku bermeditasi, tentang mimpi-mimpi dan tentang kata-kata Holmes.
Jelas, kupikir, kerusakan yang kami lihat di Jepang, dengan Tokyo yang masih memulihkan diri dari gempa bumi dahsyat tahun lalu, telah menyusupkan ide benda-benda berguncang secara harfiah ke dalam pikirannya. Aku tidak mengkhawatirkan kemungkinan yang tadi dia ungkapkan; tidak, meskipun aku berkata begitu, ada rasa takut yang mengganggu jika Freud mungkin benar.
Sejak meninggalkan Inggris pada Januari, kami telah melewati sepuluh tahun pertemuan dan tiga tahun pernikahan kami. Aku bahagia dengan cara yang tidak kusangka-sangka, secara mental dan—meskipun perbedaan umur kami, pertentangan kepribadian kami yang sering terjadi, juga ledekan menyebalkan tentang Sigmund Freud—fisik, dengan seorang pria yang mempertajam kecerdasanku, menantang jiwaku, dan membangkitkan gairahku.
Jadi, tidak: Psikologi terkutuk—mimpi-mimpi itu bukan tentang pernikahanku.
Namun, mimpi-mimpi itu terus membuatku kelelahan dan kesal serta mencari sebuah tempat tenang meskipun berupa dek yang tertutup asap, tempat aku bisa berdiri sendirian dan menatap laut tak bertepi.
Air terbentang sejauh mata bisa memandang dalam hamparan biru-kelabu yang berayun lembut, hanya pecah sekali-sekali oleh gelombang kecil berbuih putih dan jalur yang dilewati kapal, gulungannya terbuka, dan langsung menghilang di belakang kami, hingga memudar di bawah sorotan matahari di cakrawala barat. Tepat di bawah tempatku berdiri, mendominasi penglihatanku jika aku membungkukkan tubuhku di atas pagar, kayuhan kincir-kincir kapal besar mengoyak permukaan air, diikuti oleh percikan ke atas tepat di belakangnya. Seperti tanah dibelah oleh bajak seorang petani, aku berpikir sambil merenung, membentuk sebuah galian lurus membelah lautan sepanjang lima ribu kilometer. Dan saat mencapai ujung ladang air ini, kapal akan berbalik dan mulai menggali saluran berikutnya, mengarah ke timur; dan setelah mencapai pantai nun jauh itu, kapal akan berbalik lagi, membajak ke arah barat. Mondar-mandir, bolak-balik, dan sementara itu, di bawah permukaan, makhluk-makhluk laut seperti cacing dan tikus tanah akan sibuk bekerja sendiri, tak peduli dunia lain di atas kepala mereka. Sang petani, kapal ini, di atas; serangga-serangga, ikan-ikan itu, di bawah. Sangat damai. Tidur dengan damai, sementara sekali-sekali sebutir benih akan dijatuhkan dan mengakar dalam saluran yang baru saja tergali ….