DI SEBUAH APARTEMEN MEGAH, tepat berada di tengah kota New York, satu sosok tampan dengan rambut hitam itu tersenyum tipis menatap layar iPad miliknya. Kabar berita mengenai kematian keluarganya benar-benar menjadi topik hangat yang dibahas semua orang. Kembali meminum sampanye favorit yang sejak awal ada di tangan, ia memberikan iPad itu pada satu pelayan tua yang sudah berdiri sejak tadi di sampingnya. "I knew this will happen. I just didn't realize it would happen this fast," ucapnya, ia bahkan tak peduli ketika pelayan tua itu menatapnya bingung dengan senyum sopan yang masih terpasang. "Actually, i don't care about who's the culprit is, he helped a lot," imbuhnya.
Sosok itu berdiri, berjalan menuju ke arah dapur dan mengeluarkan segala bahan yang ia butuh kan di saat sang pelayan hanya bisa mengikuti pergerakannya. "What do you want for breakfast? Khadir? I'll make it for you," tanyanya pada si pelayan.
Yang dipanggil Khadir hanya menghela napas pasrah. "Same as you, sir," ia menjawab sopan. "And if I may, sir. They're still your family. At least you can show a little sadness-"
"Oh I'm sad, really. My whole family died without leaving anything for me. In fact from the start, they were dead to me. The only difference is that now they are actually dead," sahutnya dengan senyuman.
Khadir hanya bisa diam mendengar jawaban sang Tuan muda. Tak heran mengapa sosok tampan itu sangat benci pada keluarganya sendiri. Kejadian yang sudah lewat bertahun-tahun lalulah yang menjadi latar belakang sifatnya saat ini. Dengan senyum tipis, ia mendekat ke arah Tuannya. Mengambil alih kegiatan dan menyuruh pemuda itu untuk duduk saja mengurus pekerjaan di iPad yang sudah ia kembalikan. "Even if you don't care anymore, you should at least return to Indonesia, sir," serunya.
"Actually, I care about one thing, Khadir," jawab sang Tuan muda. "Unfortunately, I'm sure that no one will be able to find the item I'm looking for," Lanjutnya kembali menyeruput sampanye di meja.
Seakan mengerti ke mana arah pembicaraan sang Tuan muda, Khadir menghentikan kegiatannya beberapa detik sebelum terkekeh pelan. "If so, the person you need is Sherly Seeker, sir" jawabnya.
"Sherly Seeker?"
"She's the person who was ranked as the greatest detective after 1 year of her appearance. She solved the serial murder case in 2 hours when the police took 13 months to solve the case. The resolution of the case is always perfect. It's just that no one knows what her face looks like. Sherly Seeker refuses to show herself to the public," jelas Khadir panjang lebar dengan aksen khas miliknya yang sesekali membuat sang Tuan muda mengeluarkan tawa singkat.
"Then why the police didn't ask her for help?"
"They hated her, sir."
Sang Tuan muda hanya mendengus malas. Tak heran kenapa banyak polisi yang membencinya. Sesaat setelah ia mendapat jawaban singkat Khadir, ia mencari informasi detektif satu itu di internet. Banyak artikel mengenai sosok genius itu di sana. Lebih banyak pujian yang diberikan daripada hinaan. Sosok itu mengiklankan dirinya dengan sempurna. Dan jujur saja, Rayan tertarik untuk mempekerjakan sosok misterius tersebut.
"Sherly Seeker made police look stupid. Sherly Seeker, woman who ranked as the best detective in the world. So many people like her," serunya membaca setiap judul artikel. "Where's she comes?" lanjutnya bertanya.
"Indonesia, sir. She was originally born in Indonesia and her office is in Jakarta. That's the only real information public knows about her," jelas Khadir. "I'm sure she can find the thing you looking for," ucap Khadir. Melihat layar iPad sang Tuan muda yang membuka aplikasi bergambar pesawat, ia tersenyum tipis. Ia akan kembali ke Indonesia dalam waktu cepat.
"Call her secretary. We comeback to Indonesia tonight!"
🗓03 April 2024
Pesawat yang sebelumnya terbang selama 21 jam lebih itu kini mendarat dengan sempurna di bandara Soekarno-Hatta. Beberapa wartawan pun sudah menunggu di pintu keluar hanya untuk mendapat asupan berita. Berdandan, merapikan diri, menyiapkan kamera. Semua berdesakan ketika orang yang mereka tunggu sejak beberapa jam lalu datang.
Arayan Putra Ganendra. Sosok itu dengan percaya diri berjalan mendekati wartawan. Terlihat luar biasa hingga membuat beberapa wanita berhenti hanya untuk melihatnya. Tubuh tinggi tegap yang terlihat menggoda, rambut hitam pekat yang disisir rapi ke belakang, juga kacamata hitam yang tersampir apik di hidung bangirnya. Rayan benar-benar tumbuh berbeda dari yang mereka lihat beberapa tahun silam.
Kilau cahaya kamera yang menyambut seakan sudah biasa Rayan dapat. Ia sama sekali tidak terganggu meskipun yang bisa ia lihat hanya kilap cahaya saja. Berdiri diam, ia membiarkan para wartawan datang mendekat. Dengan siap menjawab segala pertanyaan yang akan mereka lontar kan mengenai keluarganya.