JIKA MALAM ADALAH WAKTU yang biasa menjadi favoritnya, maka tidak dengan sekarang. Waktu di mana ia biasa meminum kopi dan mengurus laporan dari beberapa bawahannya sebelum pulang, Inspektur Dan kini justru harus berhadapan dengan Sherly Seeker yang sudah menghina ruangannya sejak tadi. Mulai dari sudut tembok yang dihias oleh jaring laba-laba, loker usang yang terletak di ujung ruang, juga meja berantakan dengan laptop yang sengaja ia sembunyikan agar tidak dirusak oleh gadis gila di hadapannya ini.
"Apa yang kau inginkan Sherly?" Inspektur Dan bertanya malas.
"Aku memiliki 2 pertanyaan, Inspektur. Dan masing-masing pertanyaan itu akan menghasilkan banyak pertanyaan lain. Kau yakin akan meladeni diriku sendirian di tempat membosankan ini?" Balas Sherly dengan senyum risi pada jaring laba-laba di sudut ruang. "Akan lebih baik jika kita membahas 2 pertanyaanku sembari berjalan menuju TKP. Kebetulan aku ada urusan di sana," imbuhnya.
"Kita bisa menggunakan mobil patroli-"
"Kau juga butuh menyingkirkan bukti dari uang haram yang kau terima, Inspektur!" sahut Sherly melihat perut buncit Inspektur Janardana. Ia pun berdiri, di ikuti pria tua dengan kepala botak itu di belakangnya. Bahkan meskipun Janardana menggerutu di sepanjang jalan, Sherly hanya tersenyum jahil mendengarnya. "Tidak buruk bukan?" Serunya ketika mereka berdua baru sampai di gerbang depan kantor kepolisian.
Mendengar seruan Sherly, yang bisa dilakukan Janardana hanya menghembuskan napas pasrah, juga lelah. "Aku tidak peduli dengan urusanmu di TKP, Sherly. Tapi kepolisian sudah menginvestigasi tempat itu berkali-kali tanpa menghasilkan apa pun!" jelasnya.
"Bukti tidak harus ditemukan, Inspektur. Terkadang kau perlu membuatnya sendiri," balas Sherly, "Mengenai pertanyaanku, sepertinya sudah bisa kita bahas sekarang. Yang pertama, Siapa saja yang kau curigai sebagai tersangka?" Tanya Sherly sembari memainkan bibir bawahnya.
"Mungkin tidak masuk akal jika mencurigai 2 orang yang aku rasa adalah tersangka. Tapi hanya 2 orang ini yang memiliki banyak pertikaian dengan korban. Yang pertama adalah Damar Umbara, korban memiliki catatan korupsi miliknya, itulah alasan kenapa mereka memiliki banyak masalah. Kemudian ada Rachmawati Putri, dia pernah difitnah oleh korban hingga kehilangan jabatan juga memperburuk nama baiknya," jelas Inspektur Dan. "Tapi benar-benar tidak ada petunjuk lain di sini, kita hanya memiliki gambar satanis itu-"
"Itu sudah memberikan aku petunjuk, Inspektur. Diameter gambar itu menunjukkan perkiraan tinggi tubuh pelaku. Dan iya, tidak masuk akal mencurigai 2 orang itu. Damar Umbara berada di Bali saat insiden terjadi, sedangkan Rachmawati Putri berada di Bandung dan terjebak macet hingga pukul 11 malam ketika akan memberikan bingkisan pada korban. Meskipun pernah memiliki masalah, tampaknya hubungan mereka sudah membaik. Usul dariku Inspektur, jika kau menyelidiki sebuah kasus, cari tahu masalah pribadinya terlebih dahulu, bukan masalah sosialnya. Mencurigai mereka berdua adalah tindakan bodoh, tapi kita harus tetap menginterogasi mereka untuk mendapat informasi tambahan." jelas Sherly tersenyum tipis.
"Dan dari mana kau mengetahui fakta sebanyak itu?" Tanya Inspektur Dan melirik gadis yang masih saja memainkan bibir bawahnya sembari berjalan menuju TKP. Meskipun ia tahu Sherly merupakan sosok yang genius, namun jelas gadis itu memiliki koneksi yang lebih luas hingga mendapat informasi yang ia saja belum tahu kebenarannya.
"Kau tidak akan mau menerima segala bukti ilegal yang kudapat, Inspektur. Diam saja dan biarkan aku yang mengurus segalanya!" Sahut Sherly. Menyadari ada yang salah dengan ucapannya, ia pun berhenti berjalan sesaat, membuat Inspektur Janardana bingung menatapnya. "Bukan berarti kau diam saja dan tidak mengerjakan sesuatu. Setidaknya kau bisa membuat bukti ilegal menjadi legal menggunakan bibir tebal yang pandai mengarang itu! Kan kan?" imbuhnya singkat.
Tidak tersinggung, Inspektur Janardana hanya bisa mengeluarkan tawa ringan sebelum meminum teh di botol minuman keras yang dari tadi terletak di dalam sakunya. "Hanya itu saja? Lalu apa pertanyaan keduamu?" ia kembali bertanya.
"Tentang gambar itu, menurutmu apa itu benar simbol satanis?" tanya Sherly, menyahut botol minuman keras Inspektur Janardana dan meminum isinya. "Karena apa yang aku temukan, gambar itu bukanlah simbol satanis, melainkan simbol milik Lucifer itu sendiri!" jelasnya mengembalikan botol minum Inspektur Dan.
"Lucifer?" Inspektur Dan menaikkan sebelah alisnya. Meskipun nama itu tidak terdengar asing, namun otak yang tidak mampu menumbuhkan uban itu sudah ter-tumpuk debu yang hampir sama tebalnya seperti debu di atas loker ruangannya.
"Tidak heran jika kau tidak tahu tentang Lucifer. Lucifer adalah iblis yang dibuang dari surga, kau jelas tahu istilah itu bukan?" jelas Sherly. Mendapat anggukan paham Inspektur di sampingnya, ia pun melanjutkan. "Aku rasa pelaku menyebut dirinya sendiri sebagai Lucifer. Itu bukan simbol satanis, melainkan pengakuan sombong dari pelaku. Jelas sekali tindakan itu disengaja, meninggalkan sebuah nama untuk pembunuhan adalah salah satu tindakan gila. Apa pun itu, Inspektur. Kita berurusan dengan Iblis yang tidak immortal."
"Dengan kata lain, pelaku merasa percaya diri dengan pembunuhan yang dia lakukan?"