"UNTUK APA AKU PEDULI? Detektif yang terkenal menyelesaikan kasus sulit hanya dalam 3 hari itu sedang pusing sekarang. Aku tidak perlu khawatir!" serunya ketika lawan bicara membahas detektif hebat yang mungkin sedang tidur bersama kucing gembulnya sekarang.
"Hanya untuk jaga-jaga, kau perlu berhati-hati jika tidak ingin dia tahu!" balas si lawan bicara.
Kopi yang ada di hadapan mereka pun kini sudah tak berasap lagi, membuat orang tidak selera untuk menghabiskan sisanya. Mendengar langkah kaki mendekat, ia pun menyuruh lawan bicaranya untuk diam. Mengingat di mana mereka berada saat ini, tidak salah jika ada orang yang akan menguping pembicaraan mereka.
"Aku secara tidak sengaja sedikit menuntunnya padamu, aku rasa dia akan melakukan sesi interogasi padamu dalam waktu dekat-"
"Itu tidak masalah," potongnya. "Lagi pula Rayan tidak peduli dengan keluarganya. Dia bercerita padaku jika dia mempekerjakan Sherly Seeker untuk mencari kunci bank yang di simpan ayah. Sejujurnya, Rayan merasa terbantu dengan kematian semua orang munafik itu." imbuhnya dengan senyuman tipis.
"Itu benar. Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?" lawan bicaranya menjawab.
Sosok itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. Senyum tipis itu pun masih terukir apik menghiasi wajah. "Aku akan mengunjungi Alice. Sudah lama aku tidak bertemu dengan dia." balasnya. Ia pun berdiri, memberikan uang pada lawan bicaranya sebelum benar-benar pergi dari kafe tempat mereka berjumpa.
Jika Sherly Seeker memang benar merupakan detektif genius seperti yang di gadang-gadang, tidak mungkin ia masih tetap berkeliaran santai seperti sekarang. Mendengar jika bukti yang sebelumnya di sebutkan oleh Inspektur Janardana di Live wawancara adalah kebohongan, ia hanya bisa tertawa. Belum lagi jika detektif itu percaya bahwa jebakan bodoh itu bisa menangkapnya. Lagi pula siapa yang akan mau terpancing dengan dompet mahal berisi 5 lembar uang merah itu. Dibandingkan dengan penghasilannya, uang itu bukanlah apa-apa. Melihat layar besar di salah satu bangunan terpampang wajah Janardana yang tengah berbicara, ia pun tersenyum tipis. Menunggu waktu hingga ia akan bertemu dengan si genius itu dalam waktu dekat.
***
Jam menunjukkan pukul 1 siang ketika Sherly bangun dari tidurnya. Melempar asal selimut dengan warna senada seperti sofa ruangannya, ia pun menyapa Watson yang sudah duduk di atas punggung sofa. Suara langkah kaki berat yang terdengar menaiki tangga pun sudah bisa ia tebak siapa pemiliknya. Siapa lagi jika bukan Janardana dan Farraz. Pada dasarnya mereka mengadakan rapat bertiga hanya untuk membahas kasus bersama Farraz, mengingat pemuda itu mengatakan jika ia cukup tertinggal mengenai segala informasi penyelidikan. Ini adalah kesempatan untuk Farraz membuktikan diri pada Janardana jika ia mampu dan pantas berada di tim penyelidikan.
"Aku tidak percaya ini. Bisa-bisanya Jeni mengundurkan waktu pertemuan hanya karena atasannya masih tidur nyenyak!" seru Janardana setelah membuka pintu ruangan. "Setidaknya basuh wajah kusutmu itu!" imbuhnya pada Sherly yang menyambut kehadirannya dengan wajah dan senyuman bodoh khas milik gadis itu.
Sedangkan Sherly yang masih duduk dengan setengah nyawa itu hanya mengangguk-angguk saja tidak peduli dengan perintah yang lebih tua. Hingga mata tajam itu memicing ke arah Farraz, ia pun sontak berdiri. "Apa yang terjadi!?" serunya tiba-tiba hingga membuat Watson yang semula duduk tenang kini melompat ke sembarang arah.
"Apa maksud-"