Pagi itu cuaca begitu cerah dengan langit yang hanya dihiasi sedikit awan. Aroma tanah basah tercium menandakan bumi baru saja dihujani semalam. Hari itu, minggu awal di bulan Februari. Kicauan burung dan kokok ayam menyambut fajar seakan saling berburu mengundang sang mentari untuk datang menghilangkan rasa dingin yang melanda.
Dalam sebuah rumah yang didominasi kayu jati di ujung jalan di kawasan Bintaro, seorang gadis sedang berdandan di kamarnya. Gadis manis berlesung pipit dengan tinggi 160 cm ini, sedang menyisir rambut lurus panjangnya yang terurai indah melewati bahu, merapikan pakaiannya, dan memastikan tidak ada lagi yang kurang dari penampilannya. Dia menambahkan sentuhan terakhir untuk make up-nya yang tidak terlalu tebal dan tidak lupa memberikan jepitan untuk poni sampingnya yang sudah memanjang. Dia mengingatkan dirinya sendiri untuk memotong poninya akhir minggu ini kalau dia tidak mau direpotkan dengan poninya itu. Clarisa Shieraffy—Icha, sedang menyiapkan diri untuk hari pertamanya sebagai seorang mahasiswa. Dia mendapati dirinya begitu antusias dengan status barunya tersebut. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera memulai tahap baru dalam hidupnya itu.
Seselesainya mematut diri di depan cermin, Icha pun berbalik mendekati sebuah mozaik besar yang berada di atas ranjang tidurnya. Tatapannya menggelora diiringi senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Good morning, Sydney! Wish me luck for this first day!” ucapnya pada mozaik bergambarkan Sydney Opera House di depannya. Dia terbiasa berbicara sendiri pada mozaik yang dianggapnya sebagai sumber semangat itu. Sedari kecil, Icha sangat mengidolakan negara kangguru, Australia, terutama kota Sydney. Dia begitu kagum pada semua yang dimiliki kota tersebut. Tak heran dia bercita-cita suatu saat nanti ingin menginjak kota impiannya itu, entah bagaimana caranya.
“Selamat pagi, Sayang! Gimana udah siap berangkat ke kampus baru?” sapaan Bunda langsung terdengar saat Icha menghampiri kedua orangtuanya di meja makan.
“Udah dong, Bunda! Liat nih, Icha udah nggak pake seragam lho,” kata Icha tersenyum lebar menjawab pertanyaan Bunda sambil memamerkan kemeja kotak-kotak hijau berlengan pendek dan celana jeans yang dipakainya.
Bunda mengamati anaknya yang terlihat begitu bahagia. Dia merasa belum lama masih mengantarkan Icha bersekolah di SD, dan sekarang anak semata wayangnya itu sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang manis. Bunda melempar pandangan pada Ayah.
“Wah, iya. Anak Ayah ternyata udah gede, ya! Jadi pangling, nih!”
Icha tersenyum mendengar komentar ayahnya. Dia menghampiri Bunda dan Ayah untuk ikut sarapan bersama.
“Tapi Cha, Ayah minta maaf nggak bisa nganterin Icha ke kampus, soalnya motor Ayah masuk bengkel tadi pagi.”
“Oh, lagi diservis ya? Nggak apa-apa, Yah, Icha naik busway aja. Hmm kalau nggak juga bisa pesan ojek online. Gampanglah ....” kata Icha sambil membetulkan letak jepitan di rambutnya yang agak miring. “Makanya Icha diizinin dong bawa motor sendiri .…” goda Icha pada ayahnya.
“Makanya Icha punya pacar dong biar ada yang antar jemput,” goda balik ayahnya.
Icha dan Bunda tersenyum terkekeh mendengar godaan Ayah.
“Yeee … Icha kan kuliah buat belajar, Ayah. Bukannya buat pacaran. Gimana sih?!”
“Ya nggak apa-apa, kalau bisa buat kuliahnya tambah semangat. Kalau bikin sebaliknya, baru Ayah nggak setuju .…”
Obrolan motor versus pacar itu terus berlanjut selama 15 menit setelahnya. Baik Ayah maupun Icha sama-sama bersikeras dengan pendapatnya masing-masing. Hanya Bunda saja yang menjadi penonton setia melihat kedua orang yang paling berharga dalam hidupnya itu saling berdebat. Dalam pikirannya terlintas ‘Like Father Like Daughter’.
“Udah ah, kenyang. Debatnya dilanjutin lagi nanti aja. Ayah, Bunda, Icha berangkat dulu ya!”
“Hati-hati ya, Sayang.”
“Iyaaaa ....”
*