Seiring waktu Icha semakin menikmati statusnya sebagai seorang mahasiswa. Segala rutinitas yang dijalaninya di kampus tidak membuatnya lelah tapi justru sebaliknya. Baginya aktifitas di kampus seperti ajang refreshing. Bisa menambah ilmu, lingkungan kampus yang nyaman, dan semakin banyak pula teman yang dikenalnya. Ditambah dengan kenyataan bahwa ternyata teman-teman sejurusannya di Teknik Industri tidak kalah seru dengan teman-teman di Teknik Informatika yang dikenalnya pada kuliah perdana. Walaupun baru beberapa minggu masuk, rata-rata sebagian besar sudah akrab satu sama lain. Dan kelas ini pun paling terkenal daripada kelas lain di mata para dosen, karena suasananya yang fun dan membuat dosen nyaman saat sedang mengajar. Maklum, walaupun rata-rata mahasiswanya pintar, tapi banyak juga biang resenya, yang selalu nge-joke di kelas. Ada saja yang dibuat lucu. Makanya, Triple A (Arif, Angga, dan Adit) secara aklamasi ditetapkan menjadi seksi hiburan di jurusan Teknik Industri. Mereka sering duduk berdekatan dengan Icha – Dhea, tidak heran kalau mereka selalu menjadi sasaran ejekan Adit dan Angga.
“Cha … Icha saraf …” Icha pura-pura tidak menengok saat namanya dipanggil Angga. “Saraf, udah kerjain nomor lima belum?”
“ANGGAAAA …!! Kalau manggil jangan saraf dong! Orang udah dikasih nama bagus-bagus, Shieraffy, malah jadi ‘saraf’. Gimana sih?!! Belum aja nih .…” Angga dan Dhea sama-sama tertawa. “Iiih … kok pada ketawa sih?! Dhea, kamu kok malah ketawa juga sih bukannya belain aku .…”
“Abis loe ngomongnya gitu sih, kayak anak kecil aja. Loe juga, Ngga, ngapain sih gangguin anak di bawah umur kayak dia.”
Mereka tertawa lagi. Sehari-harinya Icha tidak pernah luput dari incaran candaan mereka. Tapi yang bersangkutan justru senang, sama sekali tidak merasa tersinggung. Justru itulah yang membuatnya semakin nyaman dengan teman-teman barunya itu.
*
Persahabatannya dengan Dhea juga semakin akrab, walaupun mereka berdua sangat berbeda. Yang satu agak tomboy dan yang satu lagi tingkahnya seperti anak kecil. Mungkin karena Icha adalah anak tunggal yang selalu mendapatkan curahan kasih sayang dari kedua orangtuanya, sehingga dia selalu merasa seperti anak kecil tanpa disadarinya. Mereka berdua sudah mulai mengenal masing-masing dan sudah mulai saling terbuka. Seperti hari itu saat Pak Joseph, dosen Bahasa Inggris yang absen karena sakit, Icha dan Dhea mempunyai kesempatan untuk bercerita, terutama tentang cowok.
“Ooh … jadi Dhea udah punya cowok di sini. Berarti yang pas hari pertama itu, kamu nungguin cowok kamu, ya?”
“Ya … gitu deh!” jawab Dhea sambil tersenyum kecil.
“Trus memang jadiannya dari kapan? Udah lama?”
“Waktu gue kelas sepuluh. Dia kakak kelas gue, sampe sekarang juga sih berarti ....”
“Wah, pantesan aja kamu masuk sini. Berarti udah lama juga ya jadiannya?”
Dhea mengangguk. “Loe sendiri udah punya cowok belum?”
“Aku? Belum, tapi .…” Icha sedikit menimbang-nimbang apa perlu memberitahu Dhea tentang cowok yang ditemuinya saat hari pertama di kampus.
“Tapi apa?”