Sesuai kesepakatan, selama liburan semester para panitia justru sibuk bukan main. Walaupun libur namun Universitas Satya Manggala seperti hari aktif biasa. Para mahasiswa yang terlibat di kepanitiaan sibuk mondar-mandir kesana kemari. Terlihat pula beberapa kelompok mahasiswa yang sedang berkumpul sesuai seksinya masing-masing sedang serius bekerja sambil diselingi canda untuk menghilangkan rasa kantuk dan lelah.
Begitu pula tim ArtdCore yang dari siang sampai sore sibuk mengecat, menyiapkan latar, membuat dekorasi, bla … bla … bla .… Di sela kesibukan Icha yang sedang menyusun mozaik bunga, dia dihampiri oleh Dimas.
“Cha, sini bentar deh!” suruh Dimas. “Udah ... itu mozaiknya biar dikerjain sama yang lain aja. Gue butuh bantuan loe, nih!”
“Kak Dimas nih, orang lagi asyik juga. Gangguin aja, deh!” kata Icha merengut. “Kenapa, sih?”
“Loe tolong ambil properti panggung ya, sekarang! Orangnya lagi nungguin di sana. Gue lagi nggak bisa ninggalin kampus, tahu sendiri kan banyak anak-anak yang masih nggak ngerti bikin gravity buat set kanan. Ya?”
“Hmm ... ya udah, deh. Tapi aku sama siapa ke sananya, Kak? Masa sendirian?”
“Ya ... sama Redhi kek atau Ocan atau siapa kek gitu?”
“Yah Kak Dimas lupa deh. Kan ArtDcore yang cowok pada ke stage semua ....”
“Oh, iya!!” Dimas memukul dahinya. “Yah jadi loe sama siapa ya, Cha?” kata Dimas bingung sendiri. Sejenak dia berpikir sambil mengedarkan pandangan mencari orang yang kira-kira bisa menemani Icha mengambil properti. Sampai .…
“Sama gue aja, Dim!”
Icha dan Dimas sama-sama menoleh ke asal suara, ternyata suara itu berasal dari Sang Ketua. Rupanya tadi dia tidak sengaja lewat dan mendengar obrolan mereka.
“Mau ngambil properti yang di Menteng itu kan?” tanya Aldi.
“Eh ... jangan deh, Di. Nggak usah loe, biar yang laen aja,” kata Dimas merasa tidak enak karena Aldi adalah ketua pelaksana yang tidak seharusnya terjun langsung ke lapangan.
“Nggak masalah lagi. Gue lagi free kok. Tinggal ambil aja, kan?”
“Iya, sih. Semuanya udah beres. Ya udah deh, ini kwitansinya. Benar nih nggak apa-apa, Di?”
“No problem. Ayo berangkat, Cha!” ajak Aldi.
Icha menurut dan segera mengikuti Aldi menuju mobilnya. Asyik, asyik, pergi bareng Aldi. Asyik … asyik. Icha bersenandung riang di hatinya. Dia berniat ingin segera mengabari Dhea tentang hal ini.
“Cha, tapi loe tahu kan siapa yang kita temuin nanti?” tanya Aldi sesaat setelah mereka keluar dari halaman kampus.
“Tau dong, Kak. Aku kan pernah ke sana. Namanya Pak Budi Cik-”
“Cha ....” Aldi memotong omongan Icha. “Kayaknya loe nggak usah panggil gue pake ‘kak’ deh. Aldi aja. Kesannya gue tua banget.”
Icha tertawa mendengar perkataan Aldi. “Kak Aldi bisa aja. Tapi kan aku udah biasa manggilnya gitu ....”
“Biasain dong.” Aldi tersenyum dan dibalas senyuman pula oleh Icha. Dalam hatinya, Icha sedang mencoba untuk memanggil nama hanya ‘Aldi’ saja.
*
Mereka sampai di Menteng setelah terjebak kemacetan selama lebih dari 30 menit. Setelah mengobrol dengan Pak Budi yang ramah itu, barang properti siap dipindahkan ke mobil CX-5 putih milik Aldi. Saat Icha ingin membantu mengangkat properti, tangannya langsung ditarik.
“Eit! Cewek nggak usah ngangkat-ngangkat. Loe tunggu aja di mobil.”
“Yah ... Kak, eh, Aldi, aku kan mau bantuin biar cepat. Masa nggak boleh sih?” kata Icha cemberut, padahal di dalam hatinya dia tersanjung karena perlakuan Aldi tadi.
“Udah deh sana! Kalau protes lagi, gue pecat nih jadi panitia!” kata Aldi sok serius padahal hanya bercanda.