Shooting Stars

Nina Ang
Chapter #1

Penyesalan

Malam setelah Bapak dikebumikan dan para kolega yang sejak kemarin berkumpul untuk berdoa dan berbela sungkawa mulai beranjak pulang, rumah terasa sangat lengang. Kursi rotan di teras mengingatkanku pada Bapak. Bapak senang duduk di sana sambil menikmati teh sore. Asbak di meja ruang tamu mengingatkanku pada Bapak. Bapak rajin membaca koran dan menjentikkan abu cerutunya di sana. Kulkas di sudut ruangan mengingatkanku pada Bapak. Setiap kali pulang ke rumah ini Bapak akan dengan antusias membuka pintu kulkas dan bertanya, ‘Mau Bapak masakkan apa, Git?'

Rumah dan seisinya seperti tengah bersokongkol membuat duka di dadaku bertambah lebar. Aku sudah lelah menangis sejak dua hari yang lalu saat Bapak dinyatakan kritis. Mataku sudah bengkak seolah tidak mampu lagi memuntahkan lara. Duniaku hitam putih. Aku bisa apa tanpa Bapak? Bolehkah aku ikut bersama Bapak saja?

Ponsel yang kuletakkan di atas meja makan tiba – tiba berdering, menandakan sebuah pesan baru saja masuk. Suaranya seketika membuyarkan lamunanku. Itu pasti ucapan bela sungkawa lagi entah dari siapa. Mungkin dari keluarga, mungkin dari teman – temanku di kampus dulu, mungkin dari teman – teman di kantor lama. Mungkin dari Kai? Aku segera mengangkat tubuhku yang lemah karena hanya terisi dua gelas air sejak pagi. Untuk beranjak dari sofa rasanya berat sekali, tapi aku tetap berusaha begitu nama Kai muncul di dalam pikiranku. Gegas aku meraih ponsel dan melihat layarnya. Bukan Kai rupanya. Ada sebersit perasaan kecewa yang muncul di hatiku tetapi secepat itu pula berusaha kutepis.

Pesan yang baru masuk itu dari Mama yang mengabarkan kalau pesawatnya baru saja mendarat di Manado. Kemarin, kala mendengar berita kematian Bapak, Mama membeli tiket penerbangan paling pagi, tiba satu jam sebelum Bapak dikebumikan, menangis paling kencang di antara para pelayat, ikut melantunkan doa – doa dan kemudian pamit pulang. Mama dan Bapak sudah berpisah sejak aku berusia tujuh tahun. Aku tinggal bersama Bapak sedangkan Mama pergi membawa Aries, adikku yang kala itu baru berusia tiga tahun.

Apa Kaivan sudah datang?

Rupanya ada pesan lain yang masuk setelah pesan yang memberitahukan bahwa Mama sudah tiba di kota tempat tingalnya. Pesan yang membuatku seperti dihantam palu godam. Kai belum datang, belum memberi kabar, belum menghubungiku sama sekali. Tapi, alih – alih membalas pesan dari Mama, aku memutuskan untuk me – nonaktifkan ponselku, menghindari mengangkat panggilan masuk dari Mama kalau tiba – tiba dia memutuskan untuk menelepon karena aku tak kunjung membalas pesannya.

“Kai mana Git, kok tidak kelihatan dari tadi?”

“Sagita, suami kamu mana?”

“Kaivan belum datang? Kalian tidak barengan kemari?”

“Ibu Sagita, kalau tidak ada lagi keluarga yang ditunggu, sebaiknya kita kebumikan Bapak Arman sekarang sebelum matahari terbenam.”

Pertanyaan para pelayat tidak berhasil kujawab dengan benar. Kadang hanya kubalas dengan seutas senyum, kadang dengan gelengan kepala, kadang sekadar satu dua patah kata. Dan tidak ada pertanyaan lanjutan karena mungkin mereka lihat aku masih kepayahan menanggung duka. Entah kalau bisik – bisik di belakang. Tidak ada pertanyaan lanjutan tentang Kaivan kecuali dari Mama.

“Bagaimana hubungan kamu dengan Kaivan?”

Dan pertanyaan Mama pun tidak bisa aku jawab. Hari ini Bapak dikebumikan. Bolehkah aku rehat sejenak dari berbagai pertanyaan tentang Kai dan rumah tanggaku? Kenyataan Kai tidak datang hingga para peziarah kubur berpamitan pulang bisakah kujadikan pertanda bahwa rumah tanggaku sedang tidak baik – baik saja?

“Rumah sudah sepi, Pak. Hanya ada Sagita di sini sendirian.” Aku berbisik lirih sembari menatap ke sekeliling rumah yang tampak lengang. Seolah Bapak bisa mendengarnya dari alam lain. “Aries tidak datang. Susah dapat tiket mendadak dari Canberra. Tapi dia bilang akan kirim doa untuk Bapak. Kaivan … Kaivan belum datang ….” Lalu tanpa sadar air mataku kembali luruh.

Deringan telepon yang berasal dari sudut ruangan kembali memecah keheningan. Aku yang kini sedang duduk di salah satu kursi di meja makan kembali memaksa tubuhku untuk beranjak menghampiri telepon rumah yang deringannya terkesan menuntut untuk segera diangkat. Please, jangan Mama. Jangan Mama.

“Halo.”

Astaga Gitaaa!” Aku tahu dengan baik siapa pemilik suara di seberang telepon itu. “Hape kamu nggak aktif! Aku telpon – telpon dari tadi.”

“Iya, Ra. Lagi lowbat,” sahutku berbohong.

Hara Lavi. Salah satu teman di kantor lamaku yang telah naik peringkat jadi sahabat karena meskipun aku sudah resign sejak nyaris satu tahun yang lalu, kami masih sering berkomunikasi dan sesekali bertemu.

Maafin aku nggak bisa datang ya, Git,” ucap Hara. Kalimat yang entah sudah berapa kali dia ucapkan sejak aku mengabarkan Bapak meninggal. Dia baru selesai cuti melahirkan, anaknya baru tiga bulan. Aku sangat maklum kalau dia tidak bisa menempuh perjalanan delapan jam dari kota untuk melayat di rumah ayahku sekarang. Aku sangat maklum. Tetapi entah kenapa Hara masih saja merasa bersalah.

“Nggak apa – apa, Hara. Mama datang, kok. Jadi dia yang temani aku menyambut tamu – tamu yang melayat.”

“Ah, syukurlah … Mamamu sampai kapan di sana?”

“Habis penguburuan tadi langsung balik.”

Lihat selengkapnya