Shooting Stars

Nina Ang
Chapter #2

Pagi yang Berbeda

Sinar yang menyilaukan.

Aku bisa merasakan seberkas sinar kembali menerpa wajahku. Tapi kali ini dengan intensitas yang lebih lemah. Sisi wajahku yang tertimpa cahaya itu menjadi sedikit hangat. Aku mengernyitkan mataku yang masih terpejam. Kesadaranku sudah penuh, tapi aku diliputi keragu – raguan – lebih tepatnya kecemasan tentang apa yang kira – kira akan menimpaku kalau aku membuka mata?

Dengan rasa penasaran yang besar dan sedikit keberanian, akhirnya aku mencoba membuka kelopak mataku perlahan. Tidak ada apa – apa. Tidak ada cahaya yang menyilaukan lagi. Aku membuka mataku lebih lebar dan pemandangan pertama yang kulihat adalah warna putih dengan bingkai bunga anggrek ungu mengelilingi permukaan putih persegi itu. Gambar bunga anggrek ungu yang familiar tetapi juga terasa asing. Aku menoleh ke kiri. Ada jendela dengan kain gorden lilac yang tidak sempurna menutup. Rupanya cahaya yang kurasakan menghangat di pipiku berasal dari sana. Cahaya matahari.

Aku baru menyadari posisiku sedang terbaring di atas kasur. Aku bisa merasakan busa yang lumayan empuk di bawah tubuhku. Aku menoleh ke kanan. Ada meja rias, meja kerja serta dua travel bag ukuran besar tersandar di dinding. Ini di mana? Ini bukan di kamarku. Ini bukan kamarku di rumah Bapak atau pun kamar di rumahku dan Kaivan.

Jantungku terasa memompa lebih cepat karena kebingungan segera melingkupiku. Bukankah beberapa menit yang lalu aku sedang di pekarangan belakang rumah Bapak, memandang langit sebelum sebuah sinar yang sangat menyilaukan menghantamku? Apakah aku pingsan dan ada yang membawaku kemari? Atau aku sedang diculik? Kemungkinan kedua hanya memperburuk keadaan jantungku. Gegas aku beranjak. Duduk di tepian ranjang dengan rasa sakit luar biasa di kepala. Aku memegangi kepalaku seraya berdesis menahan nyerinya.

So it's gonna be forever

Or it's gonna go down in flames

You can tell me when it's over, mm

If the high was worth the pain

Got a long list of ex-lovers

They'll tell you I'm insane

'Cause you know I love the players

And you love the game

 Lagu Blank Space – Taylor Swift mengalun entah dari mana, menambah kebingunganku. Aku mencari – cari di sekitar tempat tidur karena lagu itu terasa berada di dekatku. Aku membalik bantal dan sebuah ponsel pintar ada di sana. Melantunkan refrain Blank Space berulang – ulang. Aku meraih ponsel itu, bukan milikku, tapi sama halnya dengan plafon putih berbingkai anggrek, rasanya ponsel itu pun tampak familiar bagiku. Aku menatap layarnya yang tengah berkedip – kedip. Tertulis ‘Bapak’ di sana. Bapak?

“Halo.” Ya. Aku memutuskan untuk menjawabnya meskipun tidak tahu ini ponsel milik siapa dan panggilan itu ditujukan kepada siapa. Tetapi mungkin dengan menjawabnya, aku bisa mengetahui aku sedang berada di mana atau setidaknya bisa meminta pertolongan jika memang aku sudah diculik dan disekap.

“Gita?”

Napasku tertahan demi mendengar suara pria di seberang telepon. Aku sangat mengenali suara itu. Tidak mungkin aku tidak mengenali suara Bapak, bukan? Tapi, Bapak kan sudah meninggal? Sialan! Siapa yang mengerjaiku dengan mencoba – coba meniru suara Bapak?

“Gita? Kok kedengarannya kamu baru bangun? Ini sudah jam berapa?” suara di seberang kembali terdengar sementara isi kepalaku berputar dengan cepat demi mencari penjelasan atas kejadian ini.

Lalu ketika menyadari bahwa segala kemungkinan rasanya mustahil, aku memutuskan menyahut dengan lirih, “Bapak? Apa ini Bapak?”

“Ya, ampun Gita! Kamu ini masih mengigau atau bagaimana? ini hari pertama kamu masuk di kantor baru, loh! Bapak sudah feeling kamu pasti kecapean karena baru berangkat kemarin sore. Ayo bangun. Ini sudah hampir jam tujuh. Kamu masuk kantor jam delapan, kan?”

Dadaku terasa sesak oleh berbagai persaan. Tentu saja didominasi oleh perasaan bahagia sehingga repetan panjang Bapak yang kadamg – kadang menyebalkan terdengar merdu di telingaku kali ini.

Lihat selengkapnya