Jadi, ini tahun 2017?
Aku kembali ke tahun 2017? Hahaha. Ingin rasanya aku menertawai pikiranku sendiri. Tidak mungkin, kan? Ada banyak cerita tentang pengelana waktu yang kutonton dan kubaca di buku. Tapi, itu semua hanya fiksi. Tidak mungkin terjadi di dunia nyata, apalagi terjadi padaku. Mana mungkin aku terlempar ke masa tiga tahun sebelumnya.
Aku menampar pipi kananku. Siapa tahu bisa membuatku tersadar dari mimpi yang aneh ini. Tapi, bekas tamparan itu malah terasa perih. Jadi, ini nyata? Aku menengok kembali ke layar ponsel. 07.30. Aku yakin semuanya bisa dijelaskan dengan logika tetapi untuk saat ini aku tidak punya waktu untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi. Jika memang Bu Yanti jujur padaku bahwa aku baru tiba semalam, itu artinya ini hari pertamaku masuk kerja di kantor wilayah setelah mendapatkan promosi kenaikan grade satu tingkat di kantor cabang asalku.
Setelah mandi dengan tergesa – gesa dan memakai pakaian formal tanpa disetrika – untung blouse sifonku mudah diatur dan mau bekerja sama – aku tiba di gedung tujuh lantai itu tepat jam delapan. Aku tahu kantorku berada di lantai 6. Sentra Kredit Menangah Bank Berdikari. Tetapi, tombol lift kutekan dengan tergesa – gesa di angka 4. Lantai di mana ruang bagian personalia berada. Aku harus melaporkan kedatanganku terlebih dahulu dan kalau bisa, mungkin aku akan membujuk bagian personalia untuk memulangkanku kembali ke kabupaten asal. Jika memang aku tengah berkelana di tahun 2017, aku tidak akan menyia – nyiakan waktu tiga tahunku untuk menemani Bapak. Aku ingin berada di sampingnya sebelum dia meninggal.
Bayangan jasad Bapak yang diturunkan ke liang lahat kembali muncul di benakku. Lalu bayangan itu bercampur dengan ingatan satu jam yang lalu saat aku menerima telepon dan mendengar suara Bapak. Suara Bapak yang terdengar sehat, baik – baik saja dan masih hidup di seberang telepon. Kombinasi kedua memori itu tiba – tiba membuat dadaku sesak. Untung saja hanya ada dua orang lainnya yang berada di lift yang sama denganku, dan semuanya sibuk dengan gadget masing – masing sehingga andaikan aku diam – diam menangis di belakang, mungkin mereka juga tidak akan menyadarinya.
“Tunggu!” Suara seorang wanita bersamaan dengan tangannya yang menahan pintu lift membuatku tersentak. Segera kuusut air yang sudah menggenang di sudut – sudut mata. “Sorry, ya.”
“Hara?” Mataku terbelalak mendapati sosok yang baru masuk dalam lift dan kini berdiri di sampingku adalah Hara Lavi. Wanita berambut pendek dengan kaca mata yang membingkai nyaris setengah wajahnya. Meja kerjanya di samping meja kerjaku dan karena gadis itu sangat periang serta ramah, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman kantor. Hara adalah salah satu dari sedikit sahabat yang aku miliki.
“Ngg … iya. Aku Hara. Mbak ini siapa, ya?”
Aku mengernyit mendapati wajah Hara yang tampak heran memandangku. “Ra, jangan bencanda! Masa’ kamu nggak kenal aku? Aku Gita!”
Kerutan di kening Hara bertambah mungkin sekitar selusin lagi ketika aku menyebut namaku. “Oke, Mbak Gita. Mungkin itu karena kita belum kenalan? Mbak pegawai baru? lantai berapa?” Hara mengulurkan tangannya kepadaku untuk berjabat. Senyum ramah sudah terkembang di wajah ovalnya.
Aku terdiam. Jika memang benar aku sedang berada di tahun 2017, wajar jika Hara tidak mengenaliku. Kami memang baru berkenalan ketika aku pindah ke kantor cabang yang baru ini.
Lift berhenti dengan bunyi dentingan yang khas. Lampu tombol yang menunjukkan bahwa lift sudah berada di lantai 4 menyala. Lantai tujuanku. Gegas aku menjabat tangan Hara sembari tersenyum. “Aku Sagita. Meja kita akan bersebelahan di lantai 6 nanti. Kita akan bersahabat baik dan aku akan menemanimu melahirkan di kamar bersalin sekitar 3 tahun dari sekarang.”
“Hah?”
Kubiarkan Hara melongo dan bisa kurasakan tatapan herannya menghujam punggungku saat aku berjalan keluar dari lift.