Jadi kali ini berapa hari tidak tidur?” Sebuah pertanyaan muncul ketika seorang laki-laki masuk ke dalam rumah setelah dibuka pintunya oleh Ciara. Laki-laki itu terlihat tidak senang melihat kondisi Ciara. Sudah pasti lingkar hitam di area bawah matana terlihat jelas. Ciara juga hanya bisa tersenyum dengan wajah yang lemas. Tiga hari tepatnya Ciara tidak tidur. Dan dia memang mengalaminya sejak lama. Dan masalahnya dia bergantung pada laki-laki yang ada di hadapannya itu hanya supaya dia bisa tidur dengan nyenyak. “Kalau begitu langsung tidur saja.” Laki-laki itu langsung meletakkan tas dan melepaskan jaket berwarna hitam yang dia kenakan. Sepatu juga dia lepaskan beserta kaos kaki yang dia kenakan. Ciara masih terdiam berdiri memperhatikan laki-laki yang bergegas untuk menemani dia tidur itu. “Kamu mau ganti pakai kaos dulu?” Ciara kembali bertanya karena takut jika kemeja yang dikenakan laki-laki itu mungkin akan kusut. Laki-laki itu melihat Ciara sambil tersenyum lembut sebentar. “Sudahlah, bicara nanti setelah kamu tidur.” Laki-laki itu meraih tangan Ciara dan menariknya ke kamar yang tentu saja sudah dia kenali. Kamar Ciara, sebuah kamar bernuansa hijau tosca terang. Ciara memang punya rumah sederhana di sebuah area yang memang tidak terlalu ramai. Sebuah perumahan yang cukup elite dan tentu saja dia tinggal sendiri. Baru sekitar dua tahun ini dia tinggal di sini, dan sukses sebagai seorang penulis yang terkenal dengan karyanya. Cinta memang sebuah hal yang aneh bagi Ciara. Dia hanya terpaku dengan satu orang selama bertahun-tahun. Dan meski tidak bisa memliki, laki-laki yang saat ini bersamanya adalah seseorang yang paling bisa membuatnya tenang. Meski sebenarnya dia adalah orang yang paling berbahaya untuk hidup Ciara. Lian Yunanda, laki-laki berkulit sawo matang dengan tinggi hampir 190cm yang dikenalnya dalam sebuah pekerjaan memang membuatnya tidak bisa menyukai orang lain. Lian sudah menikah dan bahkan memiliki seorang anak bersama dengan wanita lain. Tapi dia terus berada di sisi Ciara dan bahkan terus meyakinkan Ciara jika hatinya tidak pernah berpaling. Dan Ciara, dengan polosnya masih selalu memaafkan meski rasa sakit di hatinya tidak pernah hilang. “Maaf karena membuat kamu menunggu.” Sebuah suara lembut terdengar saat Ciara sudah berada dalam pelukan Lian di tempat tidur. Laki-laki itu membelai lebut rambut berwarna coklat bercampur hijau milik Ciara. Perempuan dalam pelukannya itu menguap sebentar padahal tadi terlihat tidak ingin tidur sama sekali. “Nanti tunggu aku bangun ya? Aku tidak akan lama tidur, soalnya masih ada beberapa pekerjaan.” Ciara mencoba menitipkan pesan sebelum rasa kantuknya semakin menjadi. “Kenapa kamu selalu bekerja keras? Bahkan untuk tidur saja tidak kamu lakukan.” Lian terlihat protes dengan nada bicara lembut meski dia juga khawatir. Laki-laki itu menatap wajah kuyu milik Ciara ketika perempuan itu mendongakkan wajahnya melihat wajah Lian. “Tidur itu adalah hal lain.” Ciara menjawab singkat dan kemudian memasukkan wajahnya dalam pelukan Lian. Laki-laki itu paham dan sangat tahu jika Ciara memang selalu berusaha tidur. Tapi bagi Ciara semuanya itu tidak pernah mudah. “Kalau bisa aku ingin selalu ada di sisimu, setiap hari menemani tidur dan selalu bangun menatap wajahmu. Itu yang kita berdua cita-citakan.” Lian bergumam sambi mengusap lembut rambut Ciara.
Ada perasaan sedih namun takdir mereka harus berjalan seperti ini. Ciara sudah terlelap dalam pelukan Lian. Laki-laki itu bisa mendengar hela nafas lirih dari Ciara. “Sepertinya kamu lelah sekali.” Lian kembali berucap perlahan sambil memeluk Ciara lebih erat. Sunyi sekali di rumah dan bahkan kamar berwarna tosca itu. Lian mengingat banyak hal yang telah mereka lewati. Beberapa perdebatan, tapi mereka sama sekali tidak berpisah. Sampai akhirnya menyembunyikan diri mereka dari banyak orang untuk bisa bersama seperti ini. Sebuah kecurangan, penyelewengan. Tapi apa lagi yang bisa mereka berdua lakukan? Hati mereka terlanjur terpaut, bahkan ketika mereka membunuh perasaan itu lebih dalam. Rasa sakit yang dirasakan Ciara jauh membuat dia semakin menderita. Lian tahu meski perempuan itu dengan segenap tenaga menutupi. Lian tidak pernah bisa melupakan dan menghindarkan rasa sakit yang sama. “Berapa kali kamu bilang tidak mencintai aku? Kamu membenci? Tapi berakhir seperti ini?” Lian menatap wajah tertidur Ciara yang sungguh pulas. Wajahnya terlihat sedikit lebih tirus dari biasanya. Laki-laki itu menduga jika bukan hanya tidak tidur, Ciara mungkin juga tidak bisa banyak menelan makanan. Lian paham benar jika dua hal inilah yang membuat Ciara menampakkan emosi yang tidak stabil. Mirisnya dia tahu jika perempuan itu hanya membutuhkan kehadirannya supaya Ciara hidup dengan normal. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dia berikan. Perasaan yang tidak pernah bisa dia wujudkan dalam tindakan nyata, untuk ditunjukkan kepada semua orang. Sampai saat ini Ciara tidak pernah membicarakan hal itu. Terakhir kali hampir bertahun-tahun yang lalu. Lian juga tidak lagi pernah membicarakan perasaannya, dia hanya datang jika dia bisa, atau jika Ciara benar-benar membutuhkannya seperti saat ini. Rumah ini memang sudah dia datangi puluhan kali, pemilik rumah ini membuat dia ingin terus datang. Lian bergerak perlahan hendak bangun supaya tidak menganggu tidur Ciara. Tapi, Ciara meski terpejam tetap erat memeluknya. Lian bahkan tersenyum sendiri karena peluk erat Ciara. “Kamu memang perempuan yang paling kuat, bahkan ketika tertidur.”Lian berucap pelan lagi meski kali ini Ciara sedikit melepas pelukannya. Lian jelas menatap wajah tertidur Ciara. “Padahal aku ingin membuatkan nasi goreng, supaya ketika kamu bangun bisa kita makan.” Lian berbisik lirih. “Aku tahu kamu pasti tidak makan dengan baik. Sibuk, adalah alasan yang biasa kamu lakukan. Sakit pasti hanya diam saja. Padahal aku ingin menjagamu. Tapi pasti selalu aku yang membuatmu merasakan sakit yang sangat dalam.” Lian bicara sendiri seolah sedang memikirkan perasaan Ciara selama ini. “Aku selalu membayangkan kehidupan yang berbeda jika dengan kamu, seseorang yang menerobos batasan-batasan dalam diam bersamaku. Seseorang yang selalu bisa bersembunyi dibalik senyum manis dan tawa polos. Kesedihan dan rasa sakit itu bisa tersimpan begitu rapat. Jika bukan aku yang melukai, mungkin aku tidak akan pernah melihatnya.” Lian terlihat menampakkan kesedihan di wajahnya menatap wajah tidur Ciara. Perdebatan yang mereka lalui cenderung membuat rasa sakit yang lebih besar untuk Ciara tentu saja. Tapi, dalam pandangan orang lain Ciara terlihat seperti selalu mempermainkan Lian. Ciara lah yang menolak Lian sehingga Lian menikahi wanita lain. “Aku yang tidak pernah mengerti, kenapa kamu selalu menerima omongan-omongan jahat itu. Dan ketika aku memilih jalan itu, kamu masih mendukung meski cemooh datang ke arahmu dan aku tidak lagi bisa berada di sisimu untuk melindungi. Seolah semua luka itu kamu tahan sendiri, bahkan melihat aku bersama orang lain? bukankah tidak pernah sepadan?” Lian terlihat begitu sedih, dan memejamkan matanya memeluk Ciara lebih erat.