Hening ketika Ciara mengerjapkan matanya, perempuan itu buru-buru berbalik mencari ponsel pintarnya untuk memeriksa jam. Lian bergerak sedikit karena Ciara melepaskan diri dari pelukannya. “Sudah jam delapan malam, Lian.. Li? Kamu harus segera bangun dan pulang.” Ciara terlihat cukup serius membangunkan Lian dengan segera. Laki-laki itu masih sedikit belum sadar dari tidurnya. “Lian.” Ciara memanggil dan menggoyangkan tubuh laki-laki yang masih terdiam dengan mata terpejam. Nafasnya masih terdengar di sela tidur. “Kenapa? Kamu sudah bangun?” Lian justru memeluk Ciara yang sudah hampir duduk di sebelah laki-laki itu. Ciara tidak bisa menolak pelukan Lian dan kemudian rebah lagi dalam pelukan Lian. Ciara menatap wajah laki-laki yang dia cintai itu dari dekat. Matanya benar masih terpejam. Rambutnya berantakan dan Ciara kemudian merapikannya sambil menyisir dengan tangannya perlahan. Lian semakin mempererat pelukannya seolah sedang bermanja pada Ciara. “Kamu harus bangun dan bersiap pulang, sudah jam delapan malam.” Ciara kembali membangunkan dan mengingatkan Lian untuk bergegas. Laki-laki itu perlahan membuka mata dengan wajah datar seolah kesal karena dibangunkan. “Sudah bangun?” Lian langsung bertanya ketika mendapati Ciara sudah dengan sempurna menatapnya. “Iya, jam delapan malam. Kamu harus cepat pulang.” Ciara mengulang kembali kalimat yang dia ingat untuk saat ini. Laki-laki di tempat tidurnya ini harus segera menemui keluarganya tentu saja. Ciara benar-benar ingat akan hal itu. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dia ubah, setidaknya untuk saat ini. “Aku bisa menginap.” Lian terlihat santai menjawab apa yang Ciara katakan. Dia masih kembali memeluk perempuan di tempat tidur itu. Ciara terlihat tidak santai, dia menolak pelukan Lian untuk kembali tidur dan kemudian duduk menatap Lian dengan wajah serius. “Pulanglah, aku tidak ingin punya hubungan yang salah. Membuatmu lebih tersesat nantinya.” Ciara kembali mencoba untuk membuat Lian bangun dan pulang. Laki-laki itu masih rebah di tempat tidur dan membuka matanya melihat wajah Ciara yang serius. Lian enggan karena masih mengantuk, dan pasti ada banyak alasan lainnya yang tidak dia utarakan. Meski mereka melakukan kesalahan, tapi sekali lagi perasaan Ciara pada dasarnya tidak pernah bertepuk sebelah tangan. Lian juga sangat mencintai Ciara meski dia melakukan banyak kesalahan sehingga berujung kesalahan lain seperti saat ini. “Aku ingin menginap, bisakah kamu membiarkan aku tidur di sini? Memelukmu sepanjang malam?” Lian terdengar serius, dan juga tidak tersenyum sama sekali. Ciara menggeleng cepat dan hendak turun dari tempat tidur. “Aku hanya merindukan tidur di sampingmu sepanjang malam dan juga bangun dengan kamu di sisiku.” Lian kembali memberikan alasan. Ciara yang sudah duduk di tepi tempat tidur diam. Meletakkan ponsel pintarnya di meja sebelah tempat tidur di sisinya. “Hukumanmu, kamu tidak lagi bisa seperti itu. Mungkin saja ada wanita lain yang berhak untuk ada di sisimu setiap waktu. Bahkan sepanjang malam.” Ciara membalas dengan kalimat yang menyakitkan bagi mereka berdua. Lian tersenyum getir sendiri dan mengusap wajah dengan tangan kanannya. “Kamu memang pantas jadi penulis terkenal, kata-kata yang kamu gunakan selalu saja dramatis. Entah kenapa, bagi yang tidak mendengarkan dengan jelas akan menganggap itu adalah balasan. Tapi aku tahu jika itu hanyalah sebuah fakta untuk menyadarkan kamu juga setiap kali.” Lian bicara panjang dan kemudian bangkit dari tempat tidur. Ciara masih tidak melihat ke arah Lian dan kembali mengambil ponsel pintarnya. “Rasanya seperti lelaki panggilan yang datang saat kamu memerlukan aku dan kemudian pergi seperti ini.” Lian beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan memungut kemeja yang dia jatuhkan ke lantai. Mengambil celanan panjang yang dia buka di sofa dekat tempat tidur. Kamar tosca Ciara memang cukup luas. Lian berjalan perlahan mengumpulkan pakaiannya dan menuju ke kamar mandi. “Mau makan sesuatu dulu? Atau minum?” Ciara bertanya sambil mengikuti Lian yang sedang mencuci wajahnya di kamar mandi. Laki-laki itu terdiam menatap Ciara melalui kaca di wastafel kamar mandi di hadapannya. Ciara juga menatap Lian dari sana. Lian tersenyum dan mencuci tangan, setelahnya dia berbalik mendekati Ciara. Ciara tidak bergeming, seolah menantang ketika Lian mendekatinya. “Sebenarnya aku sangat ingin memakanmu.” Lian berbisik lirih dan kemudian menatap ekspresi yang ditunjukkan oleh Ciara setelah mendengar kalimat itu. “Basi, aku suka nonton drama. Tapi hanya untuk inspirasi menulis. Bukan untuk menggoda.” Ciara menjawab sambil tertawa sedikit. Lian juga tertawa, bahkan lebih keras dari Ciara. “Tahu, aku tahu kamu seperti itu. Aku tahu semuanya tidak akan mempan jika kepada kamu.” Lian membuat Ciara tersenyum menatap wajah Lian dari dekat. Tawa mereka sedikit terhenti karena mereka berdua saling menatap. Cinta itu terpancar dari pandangan yang tidak pernah berpaling. “Aku tidak memintamu untuk datang.” Ciara melanjutkan membicarakan apa yang Lian katakan ketika turun dari tempat tidur. Perempuan itu terlihat tersenyum, dan Lian juga melakukan hal yang sama ketika mereka saling tatap. Lian melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Ciara. “Tentu, tapi mungkin Nona penulis ini tidak pernah tahu jika laki-laki ini khawatir dia tidak makan dan tidak tidur.” Lian memeluk Ciara lembut, dan mencium sisi dalam pipi kanan Ciara. “Kenapa?” Ciara hendak melepaskan pelukan dari Lian. Tentu saja supaya dia tidak ingin terlalu lama memeluk laki-laki itu. “Sebentar saja.” Lian menahan Ciara seolah ingin melepaskan rindu lebih lama. “Tentu.” Ciara menjawab singkat dan diam, melihat wajahnya dalam cermin di wastafel kamar mandinya. Melihat punggung laki-laki yang saat ini sedang memeluknya. Rasa sedih muncul, Ciara menahan diri, menahan bulir air dari dalam matanya. Cinta itu terlalu menyakitkan bagi Ciara. Dia bahkan setuju setelah banyak tangis yang dilewati. Dulunya, Ciara tidak pernah merasa menyukai seseorang akan menimbulkan rasa sakit. “Aku membuatmu sedih?” Lian bertanya ketika melepaskan pelukan dan melihat wajah kosong Ciara yang masih menatap ke arah cermin. Ciara masih terdiam seolah tidak mendengar pertanyaan Lian. “Aku mau susu hangat dicampur sedikit jahe.” Lian membuat sebuah permintaan yang membuyarkan lamunan Ciara. Lian melepaskan tangan Ciara dan berjalan melewati pintu kamar mandi. Dia kemudian menggenakan pakaiannya lengkap. Ciara sudah menuju ke dapur untuk menyiapkan apa yang Lian mau. Ciara juga menggoreng beberapa nugget dan sosis sebagai camilan. Perempuan itu tahu jika perjalanan dingin akan dilalui oleh Lian menuju ke rumahnya. “Baunya enak sekali.” Lian berkomentar ketika Ciara membawa piring penuh dengan camilan dan juga susu jahe untuk laki-laki itu. Mereka berdua duduk di sofa ruang tengah. “Terimakasih, karena membantu aku tidur.” Ciara terdengar lembut dan menyunggingkan senyum. Lian menatap Ciara dengan senyum manisnya. “Setidaknya aku bisa selalu menggantikan obat, yang berbahaya.” Lian menjawab singkat dan mengambil gelas susu jahenya. “Seharusnya aku datang ke psikolog atau psikiater. Bukan merepotkan kamu seperti ini.” Ciara terlihat tenang mengatakan kalimat yang menyesakkan lagi. Lian hanya menghela nafas dan menatap Ciara setelah menyeruput susu jahenya. “Aku agak kesal mendengarnya, meski sebenarnya itu juga baik untukmu.” Lian berucap lembut. “Aku akan mengurangi perlahan, tidak lagi memanggilmu. Tidak menganggumu lagi.” Ciara terlihat bertekad mengucapkan kalimat yang kembali membuat Lian tersenyum getir. Rasanya seolah dia memberikan bunga mawar tapi Ciara tertusuk oleh durinya. Menyakiti, meski niatnya membuat Ciara bahagia. “Aku membuatmu sedih?” Lian bertanya ketika melepaskan pelukan dan melihat wajah kosong Ciara yang masih menatap ke arah cermin. Ciara masih terdiam seolah tidak mendengar pertanyaan Lian.