Shouldn't Love

Sheillya Pradina
Chapter #1

1. Hari Pertama

Hari ini adalah hari pertamaku memasuki sekolah tingkat SMA. Antusias rasanya, aku berharap di sekolahku kali ini aku mendapat pergaulan yang positif. Setelah sebelumnya ketika aku SMP, aku mempunyai pergaulan yang negatif dengan teman-temanku.

Biar kuceritakan sedikit mengenai masa SMP-ku. Saat itu, aku berada dalam satu geng yang cukup ditakuti oleh kaum hawa sekolahku. Geng itu beranggotakan 5 orang, kelompok anak-anak nakal yang dibentuk karena latar belakang keluarga yang cukup buruk. Meskipun, aku tidak mengerti kenapa diriku bisa masuk kelompok itu karena latar belakang keluarga sangat baik.

Tidak seperti teman-temanku yang broken-home. Contohnya saja, Santi. Ia tinggal bersama tantennya karena orang tua mereka bercerai dan sudah mempunyai keluarga masing-masing. Saat itu Santi sangat hancur karena kedua orang tuanya melupakannya begitu saja karena keluarga baru mereka masing-masing.

Lalu ada Maya yang selalu hidup penuh tekanan dari semua kakak-kakaknya yang sudah sukses, ia selalu dibanding-bandingkan. Belum lagi semua kakak Maya adalah laki-laki dan Maya tidak dibiarkan membuat kesalahan sedikitpun, jika Maya berbuat salah maka ia akan dipukuli.

Sementara itu ada juga Sania yang selalu mendengar pertengkaran orang tuanya karena masalah ekonomi terlebih adik Sania menderita penyakit paru-paru. Dan yang terakhir adalah Reya, ia harus melihat ibunya bekerja keras sendirian untuk menghidupi Reya dan ayah tirinya. Ibu Reya menikahi pria brondong dan jika ayah tiri Reya tidak mendapat uang maka tidak segan-segan Ibu Reya akan dipukuli.

Sementara aku, kehidupanku berbeda dari mereka. Aku selalu diberi kasih sayang yang berlimpah dari kedua orang tua. Meskipun ayahku hanyalah seorang karyawan biasa di sebuah kantor swasta dan ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa. Tapi mereka selalu mengikuti segala keinginanku.

Begitu aku kelas 3 SMP, aku sempat terancam untuk keluar sekolah. Jujur aku diantar berlima akulah yang berpikir paling waras saat itu. Kami semua hampir dikeluarkan dari sekolah dengan alasan yang berbeda-beda.

Santi dan Maya hampir dikeluarkan karena kedapatan menghisap lem. Sania hampir dikeluarkan karena kepergok sedang bermesraan dengan pacarnya di dalam kamar mandi. Reya hampir dikeluarkan karena memukuli seorang guru yang merupakan selingkuhan ayah tirinya. Dan aku hampir dikeluarkan karena ketahuan menjual kunci jawaban soal ujian sekolah.

Aku bukanlah murid yang bodoh, meskipun aku nakal tapi aku juga terkenal sebagai murid yang cukup berprestasi. Aku pernah mewakili SMP-ku untuk ikut kejuaraan cerdas-cermat matematika. Saat itu, aku membutuhkan uang karena laptopku rusak dan aku tidak bisa belajar tanpa dengan bantuan laptop.

Dan saat itu kedua orang tuaku sedang dalam krisis ekonomi yang cukup buruk. Sehingga aku menemukan sebuah cara. Temanku dari sekolah lain memberikanku sebuah soal ujian, awalnya ia membayarku untuk menjawab sekaligus mengajarinya agar nilai nya bagus. Lalu, sebuah ide muncul untuk aku menjual jawabannya ke teman-teman sekolahku.

Itu adalah pengalaman yang sangat buruk. Sampai akhirnya orang tuaku memutuskan untuk menjauhkan diriku dari keempat teman-temanku karena dianggap mereka membawa pengaruh buruk bagiku. Hingga di sinilah aku berada sekarang, aku tinggal di rumah tanteku yang tidak jauh dari SMA-ku.

Rumah orang tuaku cukup jauh dari sekolahku, butuh waktu sekitar satu jam setengah untuk sampai ke sekolah. Jadi, untuk menghindari keterlambatan, aku tinggal di rumah tanteku.

"Bagaimana balonmu, Nadia? Apa sudah siap?" tanya Tanteku yang bernama Hanin.

Aku mengangguk. "Sudah siap, Tan."

Hari ini adalah hari pertamaku ospek. Dengan nilai rapor dan otakku yang cukup pintar aku berhasil menembus salah satu sekolah bergengsi dan ternama di kota ini yaitu SMA Melati Bangsa.

"Rambutmu kurang tinggi ikatnya." Tante Hanin memperbaiki ikatan rambutku. "Tante gak ingin kamu dihukum hanya perkara ikat rambut."

Aku terkekeh melihatnya, ia sangat overactive menguruskan. Tante Hanin adalah adik ibuku. Sudah delapan tahun menikah dengan suaminya yang bernama Om Bram tapi mereka tak kunjung mendapat momongan.

"Sudahlah, Tan. Jangan terlalu tegang. Gak seru juga kalau ospeknya gak dihukum-hukum."

"Duh amit-amit kalau kamu dihukum, dulu Tante kalau dihukum sampai ditendang-tendang."

Aku menggeleng melihatnya. "Dulu sama sekarang beda."

"Ada apa ini ribut-ribut?" ujar Om Bram yang baru saja selesai mandi.

"Ini Om, Tante Hanin panikan." Aku mengejek tante Hanin. Tante Hanin adalah sosok tante yang sangat pengertian. Ia bisa menjadi seorang teman sekaligus ibu. Tante Hanin juga sangat gaul dengan teman-temannya. Tidak jarang aku mengikuti perkumpulan dengan teman-temannya.

Om Bram hanya terkekeh melihat kami. "Nadia, kamu sudah siap? Ayo kita berangkat."

Lihat selengkapnya