SHUTTER LOVE

Dzikrika Sanggita Rahmanuwati
Chapter #2

1. Kucing Oren

Satu Hari Sebelum Membara

Kue sama dekor, sudah. Stan bazar, sudah. Urusan pensi, sudah. Rundown acara, sudah lengkap.

Ini satu hari sebelum pesta ulang tahun sekolah delapan belas. Daftar persiapan yang ada di tanganku dipenuhi tanda centang. Artinya, pesta ulang tahun sekolah kali ini bakal jadi yang terbaik di eraku.

Sumpah, pokoknya harus. Karena ini kesempatan di mana aku bisa ngebalas semua dukungan dari orang-orang yang sudah percaya sama aku sebagai ketua OSIS.

Meski begitu, sering kedengeran di telingaku, Aily Lovia Zahra itu katanya si paling teladan. Si paling rajin. Si paling bisa diandelin. Si paling aktif. Si paling si paling si paling—tahu dah.

Aku tak minta gelar semua itu. Entah maksudnya sarkas atau apa, aku aminkan saja. Siapa tahu bisa jadi beneran, kan.

Beda cerita kalau aku tidak melakukan apa pun, tapi mereka tiba-tiba muji. Itu jatuhnya jadi tuntutan buat aku pribadi. Tapi, aku bakal lebih marah lagi kalau usahaku tidak dianggap.

Menaruh seluruh duniaku pada suatu hal sudah jadi mutlak.

Sama halnya buat pesta kali ini.

"Bakal ada kiriman coffee truck juga dari dari klub bahasa Korea. Nih, proposalnya." Jarvis Devano nyeletuk sambil masuk ke ruang OSIS dan duduk di sofa sebelahku.

"Wahahaha asyik nih. Udah gue duga sih, soalnya lagi ngetren!" pujiku.

Beres menyisir rambut lurus sebahuku, kuambil alih proposal dari jari-jemari Jarvis. Dia sama yang namanya olahraga gila, sih. Jago karate juga.

Cowok yang punya mata boba—bulet-bulet lucu—itu wakil ketua OSIS di sini, SMA Marionette.

Kami sering disebut kembar karena punya mata yang sama.

Pertama, aku anak tunggal.

Kedua, jelas mataku lebih lebar daripada dia.

Mitosnya sih kalau sering barengan sama orang, mukanya jadi nyatu. Maksudnya keliatan serupa gitu. Ya, mau gimana lagi, itu anak mengintil mulu. Ada baiknya juga sih, dia orangnya suka ngegas, jadi aku bisa hemat pita suara kalau ada murid sengklek tukang melanggar peraturan.

Sambil ngunyah permen karet, aku sempetin buat baca sekilas isi proposal itu. Isi lembar demi lembarnya terlihat rinci dan nyenengin, terutama di bagian menu kopi dan cemilan pendampingnya. Roti isi dan permen kenyal. Itu kesukaan aku semua, haha.

Tapi, yang paling penting, aku suka gimana warga sekolah ini kompak. Ya, walaupun urusannya bersenang-senang. Paham, sih.

Di tengah hectic-nya belajar, kita tetep butuh sesuatu yang baik untuk dikenang, bukan cuma hal traumatis saja.

"Menurut gue juga bagus banyak yang buka jasa begitu. Nambah cuan dan buka lapangan kerja baru," ujar Jarvis.

"Bolehlah gue bikin juga. Kayaknya seru."

"Seru matamu!" Tiba-tiba, ada suara yang nyambar gitu saja. Kepala si cowok imut menyembul di balik tirai samping sofa, Jayen Aditya.

Di jidatnya masih menempel secarik kertas berisi coretan-coretan angka.

"Tante gue pernah coba usaha begitu. Beli mobil aja bisa sampe 50 jutaan, tambah kustom 10 jutaan, peralatan kopi 5 juta, kulkas mini di bawah dua juta, gelas piring—"

"Itu bisa minta punya emak." Aku menyela sambil nahan tawa. Bukan apa-apa, lucu banget ngeliat perbedaan kontras antara bibir manyun Jeyen yang asyik mengomel dan muka julid Jarvis.

"Oh bener-bener, tapi bukan itu intinya dodol! Biaya operasional 150 ribu per hari kali tiga puluh hari. Bayangin modalnya sebanyak itu, tapi tantangan di lapangan bejibun. Saingan buibu cathering, lahan parkir minim. Belom lagi tergantung cuaca, ringkih amat. No-no-no rekomen!" ujar Jayen, menggoyangkan telunjuknya.

"Eum ...." Aku menganguk-angguk. "Iya sih, gue setuju."

Lihat selengkapnya