Keluar dari kelas 11-A tempat Alif belajar rupanya cuma membuahkan dengusan kesal. Aku kira dia bertelur di kelas, soalnya ya anaknya kalau istirahat tidak suka nongkrong bareng yang lain. Terutama semenjak Hasby, sahabatnya, pindah ke luar kota tahun lalu.
Sebenarnya, aku dan dua sohib itu punya kenangan buruk dan konyol. Malu-maluin. Kurasa akar masalahnya ada di sana, makanya Alif ngehindar dariku dan cari gara-gara dalam dia.
Jangan-jangan, dia pikir akulah alasan kenapa Hasby pindah. Enak aja!
Aku mesti cepet-cepet ketemu dia.
"Kamu ngapain berdiri di situ, Aily?" Ini dia sekretaris kebanggaanku, Kanekaze namanya.
Cowok kalem bau bedak bayi. Seperti biasa, ia menyapa dengan tutur kata yang super duper lembut. Kadang kalau disandingkan sama dia, aku minder karena merasa kelewat barbar.
"Kamu liat Alif, gak?" tanyaku penuh penekanan.
"Oh! Ada di taman, biasa lagi cekrek-cekrek."
"Oke, makasih banyak, Kaze!"
Kaki ini baru mau melangkah lagi, tapi Kaze menjulurkan sekotak kecil susu cokelat di depanku. "Nih, tadi aku beli dua!" katanya
Cokelat! Ini bagus banget buat naikin mood sehabis ketemu si Kucing Oren. Terbukti Kaze anaknya peka. Selama barengan sama dia di OSIS, yang aku tangkap dia bisa nebak suasana hati orang, sih.
"Asyik! Thanks, yow!"
Sesampainya, aku mengendarkan pandangan ke tempat yang luasnya setengah dari lapangan sepak bola itu. Lokasinya memanjang dan terhubung dengan gedung perpustakaan.
Saat aku melangkah, banyak pepohonan besar yang berdiri layaknya pilar. Sementara itu, bagian tengah diisi beberapa kerangka besi tempat menyimpan pot bunga.
Aku jarang ke sini soalnya kemusuhan sama yang namanya lebah. Di tahun pertama—waktu kelas sepuluh—aku pernah nyusruk gara-gara tuh makhluk.
Si Kucing Oren pintar banget lagi milih tempat persembunyian. Di mana ya dia? Kata Kaze ada di sini, tapi sepanjang aku menyusuri jalan batang hidung anak itu belum kelihatan.
Pupil mataku terpaku di satu titik. Ujung belakang sepatu low cut si Kucing Oren tertutupi rimbunnya berbagai macam tanaman perdu.
Aku mendekat. Benar saja. Cowok itu sedang asik tengkurap sembari fokus memotret. Entah apa yang dia coba abadikan, mungkin semut lewat. Tapi, apa dia tidak takut seragamnya kotor.
Uji kekuatan, kutaruh dulu susu kotak dan album di besi tempat pot. Kemudian, memegang dua kakinya dan menarik cowok itu mundur.
Suara eranganku bikin dia langsung berkata, "Aily ...."
"Alif Ezra Mahesa, berdiri gak?" ancamku ngos-ngosan.
Buset, ternyata berat juga. Padahal tinggi dan beratnya lebih kecil dari Jarvis. Jarvis bahkan bilang si Kucing Oren ini seringan kapas waktu mereka coba adu karate tempo hari.
Alif bangkit, walau keliatan super duper malas. "Ada apa? Albumnya udah ada di ruang OSIS kan?"
Yang paling jengkel adalah dia ngomong sama aku, tapi sambil sibuk mengotak-atik kameranya itu. Heran, kenapa ya dulu aku bisa naksir sama si manusia robot ini? Lebih aneh kenapa sebutan Alif banyak banget. Dia bisa jadi si Kucing Oren tukang blusukan; jadi robot yang cuek; oh iya satu lagi, jadi mas-mas badut.
Aku ambil lagi album dan membukanya lebar-lebar di depan wajah Alif.
"Jelasin kenapa foto aku blur dan kacau di sini?" Rasanya kepalaku puyeng sendiri karena daritadi jidatku mengerut.
Tangan Alif melepas kamera dan membiarkannya tergantung. Ia mencondongkan badan. Tidak ada yang berubah, ekspresi cowok itu seratus persen cuek bebek saat mengamati foto-foto.
"Apanya yang salah?" tanya Alif, telunjuknya menggaruk pelipis.