(Senyum yang hilang)
Aqilla masih merasa semua baik-baik saja, seperti biasa pagi itu ia bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, dengan wajah ceria khas anak-anak seusianya Aqilla pamit pada ayah dan ibunya. Ayahnya meski terlihat lemah masih mampu untuk tersenyum padanya, memberi tangannya untuk dicium oleh Aqilla.
Ibunya juga ikut tersenyum kecil melihat raut wajah gembira Aqilla, karena UN hampir mendekati ia begitu rajin untuk pergi ke sekolah, ia yang waktu itu membawa bekal nasi dengan sambal berupa telur yang di beri garam saja sudah begitu bahagia.
"Bu Qilla pamit ke sekolah dulu, Qilla mau jadi anak yang pintar, yang bisa bikin ibu dan ayah bangga sama Qilla, Qilla bakalan bikin semua orang yang sering hina ibu jadi malu sama ucapan mereka sendiri, Qilla pengen sukses Bu!" teguh janjinya dan sinar keyakinan yang begitu kuat di matanya, membuat sang ibu merasa bahagia. Meski tak bisa memberi uang jajan seperti orang tua lainnya, Fitri tetap memberi anaknya semangat dan kekuatan.
Aqilla juga tak pernah menuntut banyak pada sang ibu, dia hanya meminta do'a dan senyuman agar harinya selalu di mulai dengan hal baik terus menerus. "Qilla belajar yang rajin ya nak, ngak perlu mikir terlalu tinggi dulu nak, cukup belajar yang rajin, tuntut ilmu setinggi-tingginya baru raih impian Aqilla sesudahnya, kita emang harus mikirin masa depan dari sekarang, tapi jangan berharap semuanya mudah diraih, mengerti." Fitri mengajari putrinya dengan baik, terkadang ketika kenyataan tak sesuai harapan itu akan menyakitkan, maka nikmati hidup terlebih dahulu, jalani semuanya semampu dan sebisa kita.
Jangan terlalu memaksa untuk melakukan sesuatu jika kemampuan kita hanya sebatas batas diri kita, jangan memaksanya untuk lebih karena akan berakibat buruk bagi kita sendiri.
Itu adalah moto hidup Fitri, lakukan semuanya sampai batas kemampuan kita, jangan terlalu memaksakan diri, dan juga jangan terlalu sombong, hidup hanya sampai di mana, hanya kita yang tau batas diri kita.