"BARU aja jadi anak baru, dia langsung punya banyak temen."
"Iya nih, baru dua jam yang lalu padahal, dia langsung jadi populer."
Aku tidak menanggapi apa yang teman-temanku katakan. Aku hanya lebih memilih fokus mencatat buku geografi yang nyatanya lebih menarik daripada melihat sekumpulan anak laki-laki yang sedang bermain basket.
Kelasku dekat sekali dengan lapangan basket. Jadi, tidak mengherankan kalau ada bola basket nyasar yang tiba-tiba masuk ke dalam kelas. Itu adalah fenomena yang sudah biasa. Bahkan jika ada murid dari kelas lain yang membuat bola itu masuk ke dalam kelas kami, dialah yang harus mengambilnya sendiri.
Peraturan baru dari Ketua Kelas. Karena peraturan itulah kami pun menyetujuinya.
Yang melakukan, yang bertanggung jawab. Itu adalah penjelasan logis dari Ketua Kelas.
Tiba-tiba saja ada bola basket masuk ke dalam kelas. Aku sudah bilang itu adalah fenomena yang sudah biasa. Yang melakukan, yang bertanggung jawab. Tidak ada diantara kami yang mau mengambil bola itu karena kami tidak melakukan apa pun. Hal yang kami lakukan hanyalah berdiam diri di dalam kelas sambil menghabiskan bekal dan aku yang sedang mencatat buku geografi.
Seorang anak laki-laki mengambilnya. Ah, dia ... si murid baru itu. Setelah dia mengambil bolanya, dia malah nyengir.
"Cieee ... lagi merhatiin aku nih? Jangan lama-lama merhatiinnya, nanti kalian suka lho," ujarnya. Setelah itu, dia pun pergi.
Teman-temanku langsung mendecih dan menatapnya jijik. Kalau ditanya seberapa tampannya anak itu, percayalah ... dia tidak tampan, dan tidak ada yang menyukainya. Dunia ini bukanlah sebuah komik ataupun novel yang mana karakter perempuan kedatangan seorang murid laki-laki tampan--itu adalah kutipan yang kubaca dari salah satu novel fiksi ilmiah yang hendak Mama sunting. Aku hanya membacanya sedikit.
Setelah mendengar ada anak laki-laki (murid baru) yang akan datang ke kelas kami, sontak teman-teman sekelasku--khususnya perempuan--langsung berimajinasi perihal siapa murid baru itu.
Apakah dia tinggi? Tampan? Kaya? Entahlah. Aku sendiri, mencoba untuk tidak terpengaruh pada fantasi liar mereka. Teman sebangkuku--Ketua Kelas, Amartya--mengingatkanku untuk tidak terlalu berfantasi. Dia bilang, "Berfantasi itu boleh, tapi selingi fantasi itu dengan logika juga, karena kalau kau jatuh karena fantasimu yang tidak terwujud, kau tidak akan merasakan sakit."
Aku mengangguk mendengar penuturannya. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, kata-kata Amartya persis seperti Mama. Hanya saja, yang paling membedakan, Amartya lebih kaku dan pendiam, sedangkan Mama lebih ceria.
Murid baru itu masuk ke dalam kelas bersama Pak Umar. Sontak anak-anak perempuan di kelasku langsung melenguh kecewa. Murid baru yang Pak Umar bawa tidaklah tampan, tinggi, ataupun kaya.
Dia hanya anak laki-laki biasa. Berkulit cokelat dengan lengan kasar, kurus, dan pendek. Hampir anak-anak perempuan di kelasku menatapnya jijik, tapi tidak dengan aku ataupun Amartya. Amartya sendiri sudah jelas tahu bahwa murid yang akan datang ke kelas kami hanyalah anak biasa, dan aku sepemikiran dengannya.
"Nama saya Cyclone."
Selain memiliki fisik yang cenderung diremehkan, justru anak itu memiliki nama yang unik. Berwajah Asia tapi memiliki nama bule. Pak Umar mengernyit, "Itu beneran nama kamu?"
"Iya pak, Mama saya orang Belanda, Papa saya orang Indonesia, alasan kenapa saya punya wajah Asia, karena gen yang ada di Bapak saya menurun ke saya, sedangkan alasan kenapa kulit saya coklat gini karena waktu kecil saya sering main keluar Pak, panas-panasan gitu lho," ujar anak yang bernama Cyclone itu.