ENTAH hanya perasaanku atau ... orang yang kemarin selalu mengikutiku?
Ah, entahlah. Aku selalu mengabaikan kehadiran orang yang menjatuhkan buku itu. Aku mengabaikannya karena aku berusaha untuk tidak membayangkan hal-hal negatif yang akan terjadi. Katakanlah bahwa aku takut, dan itu benar.
Derap langkahnya kerap kali membuatku risih. Aku lihat di berita, katanya akhir-akhir ini sedang marak kasus penculikan. Mama jarang menonton TV dan sepertinya dia tidak tahu mengenai hal ini. Bahkan Mama tidak bisa menjemputku karena dia ada pertemuan mendadak dengan Direktur Utama. Karena itu, dia menyuruhku pulang dengan angkutan umum.
Awalnya aku ingin mengajak Amartya untuk pulang bersama, tapi sayangnya Amartya ada latihan paskibra, lalu saat aku hendak mengajak Anika juga tidak bisa karena tadi pagi dia pulang cepat karena sakit haid untuk pertama kalinya, lalu Marsha? Ya, dia pulang dijemput Papanya, dan aku lupa untuk menawarkan diri agar aku dan dia bisa pulang bersama.
Sekarang aku berjalan sendirian di jalan trotoar, diikuti oleh orang yang kemarin.
"Yuriel, kamu jalan kaki?" Aku telonjak kaget ketika ada seseorang yang memanggil namaku.
Cyclone datang, entah sejak kapan dia sudah berdiri di sebelahku dengan mulut yang sedang sibuk mengunyah gorengan. Aku menghembuskan napas. Kukira yang memanggil namaku adalah orang yang mengikutiku.
"Nggak." Aku menjawab dengan pendek.
Cyclone sendiri membuang kertas yang dipakai sebagai wadah gorengan ke tempat sampah terdekat, lalu setelah itu dia menghampiriku ketika aku hendak berjalan. Aku tidak bermaksud menunggunya, omong-omong. "Terus, kenapa jalan kaki?" tanyanya lagi. Aku menghembuskan napas. Apa dia tidak ingat dengan perlakuan jahatku?
"Aku mau ke pangkalan angkot."
"Wah, bareng ya!"
"Iya."
Setelah percakapan singkat itu, kami berdua pun berjalan bersama. Aku menoleh ke belakang, mencoba melihat orang yang mengikutiku. Namun saat aku melihatnya, dia ... tidak ada.
"Yuriel, ada apa?" Tampaknya Cyclone sadar bahwa aku sedang menoleh ke belakang. Karena itu, aku pun langsung menggeleng. "N-nggak papa."
"Kamu risih ya, pulang bareng aku?"
Aku langsung merinding begitu Cyclone mengutarakan pertanyaannya. Aku tidak mau jijik padanya, meskipun apa yang Marsha utarakan kemarin--entah kenapa--bisa jadi benar.
"Nggak."
"Oh, syukur deh," ujarnya, lalu kami kembali berjalan.
Cyclone menanyakan hal yang polos membuatku berpikir negatif. Aku masih kelas satu SMP dan aku belum siap dengan hal-hal itu. Aku memikirkan ini bukan dalam rangka mengharapkan Cyclone, tapi ... jika apa yang Marsha katakan itu benar, apakah itu akan mempengaruhi mata pelajaran yang aku pelajari--maksudku apakah waktu belajarku akan terganggu?
Begini, setelah UN aku memiliki rencana; jika aku masuk SMP, aku mau mendapatkan rangking tiga--itu baru minimal. Lalu saat kelas dua SMP, aku mau mendapatkan rangking dua, dan yang terakhir, saat kelas tiga SMP baru mendapatkan rangking pertama. Saat SD biasanya aku hanya masuk ke dalam sepuluh besar, tapi saat ini--setelah aku SMP--aku ingin masuk ke--setidaknya--tiga besar.
Awalnya aku ingin mendapat rangking satu di kelas satu SMP ini, tapi setelah aku tahu bahwa Amartya adalah anak yang cerdas, aku pun mengubah rencanaku.
Aku melakukan ini semata-mata hanya untuk membuat Mama bangga.
"Yuriel."
"I-iya?" Lagi-lagi aku telonjak. Kali ini salahku sendiri karena melamun saat berjalan.
"Aku ... minta maaf," ungkapnya tiba-tiba. Aku mengernyit. "Buat apa?"
"Waktu di chat itu lho, aku nge-spam kamu tapi aku nggak mikir kalo kamu lagi sibuk, sekali lagi--"