MALAM itu, aku tidur di kamar Mama. Kebetulan sekali saat itu Mama sedang mengerjakan pekerjaannya. Mengedit beberapa naskah yang belum rapi. Mama belum ngantuk waktu itu karena aku bisa dengan jelas melihat matanya yang tidak berat. Di meja kerjanya ada segelas kopi hangat. Mungkin itu yang membuat Mama tidak mengantuk. Melihat hal itu, aku langsung bercerita padanya bahwa ada yang mengetuk pintu balkon kamarku.
Mama berkedip beberapa kali. Aku pikir Mama tidak akan mempercayaiku, tapi lambat laun Mama pun pergi ke kamarku, seraya memeriksa ada apa di pintu balkonku.
Membuka pintu balkon. Mama menolah ke kiri, kanan, dan tengah. Tidak ada siapa pun. Yang ada hanya langit malam nan gelap yang dihiasi beberapa lampu rumah dan lampu jalanan. Sepi, begitu kata Mama. Kalau tidak ada siapa pun, itu artinya ... tidak. Tidak mungkin.
"Yuriel, kamu tidur di kamar Mama aja ya."
Aku langsung mengiyakan setelah Mama mensugestikan hal itu. Bagaimana aku tidak menerima sugerstinya? Saat itu aku sedang membaca novel, dan suasananya pun sepi sekali. Sudah sepi, mencengkam pula. Ya, setelah kejadian yang seram itu, aku tidak berani tidur di kamar.
"Setelah itu pintunya tertutup sendiri lho!" Anika berseru tegang, menceritakan kisah seram tetangganya saat dia sedang di rumah sendirian.
Setelah aku menceritakan pengalaman seramku, entah kenapa Anika dan Marsha jadi ikut-ikutan bercerita. Mungkin mereka pikir apa yang aku ceritakan kepada mereka adalah sesuatu yang seru, tapi biarlah, toh, setelah makan siang kami tidak tahu harus melakukan apa. Mungkin menceritakan kisah seram bukanlah hal yang buruk.
Aku tidak suka cerita seram, tapi jika diceritakan oleh teman-teman sendiri rasanya menyenangkan.
Amartya tidak ikut nimbrung karena saat ini dia sedang mengobrol dengan Shakira, sekertaris kelas kami. Kami sudah mengajak mereka, tapi karena tugas dari Wali Kelas, akhirnya mereka menolak ajakan kami. Amartya ketua kelas sedangkan Shakira sekertaris kelas, wajar jika mereka sibuk.
"Yuriel, aku pengen ngomong bentar boleh?"
Cyclone tiba-tiba saja berdiri di dekat kami. Tersenyum lebar dengan melipat kedua tangan di belakang. Persis seperti anak SD yang menginginkan hadiah dari Bu Guru.
Anika dan Marsha diam. Terkejut dengan kehadiran Cyclone yang tiba-tiba. Aku pun begitu.
"Mau ngomong apa?" tanyaku. Cyclone semakin melebarkan senyumnya.
"Ada deh, lima menit lagi aku tunggu di perpus ya."
Dia langsung meleos setelah aku bertanya. Aku menggeram dalam hati. Sebal dengan tingkahnya yang cukup seenaknya. Anika dan Marsha terkikik. Lucu melihat gelagatku dan Cyclone.
-
"Belajar ... bareng?" Aku mengulang ucapan Cyclone barusan. Anak itu mengangguk. Dia menutup buku PKN, seni budaya, dan fisika. Jangan bilang dia membaca tiga buku sekaligus.
Setelah menutup buku-buku itu, dia pun membereskannya dengan menumpukannya. Barulah setelah itu, dia memindahkan tumpukan buku yang sudah dia rapihkan ke sebelah kiri. Mungkin sengaja agar dia bisa lebih leluasa mengobrol denganku.