SI ANGIN

Dreamerity
Chapter #8

#Wind 7 - UTS

SEPERTI yang sudah aku katakan sebelumnya, senyuman Mama persis seperti bunga matahari yang mekar di pagi hari. Cerah ceria dengan cahaya yang begitu hangat. Mama hanya akan melakukan itu kalau ada Cyclone.

Iya ... Cyclone.

Karena kedatangan anak itu, Mama mendadak menjadi seorang yang bersemangat. Tidak seperti biasanya, kalau ada anak itu Mama akan bersikap sangat baik padaku. Berbeda saat aku membawa Amartya, Mama cenderung akan bertingkah seperti biasa--membiarkanku, atau Amartya belajar sendiri, sedangkan dirinya akan mengerjakan sesuatu di kamar. Menjadi mentor lomba menulis novel di WhatsApp dengan ditemani laptop dan secangkir kopi.

Namun kalau bersama Cyclone berbeda. Maksudku, sudah beberapa kali anak itu mengajakku belajar bersama, itu pun kami melakukannya setiap Minggu. Iya, setiap Minggu.

Aku bersyukur kami melakukan hal ini secara diam-diam. Aku tidak mau Amartya, Anika, dan Marsha tahu kalau kami belajar bersama. Anika dan Marsha mungkin akan mengira kalau aku dan Cyclone benar-benar ... sudahlah, lagi pula orang yang aku sukai itu berinisial G, dan Amartya ... oke, aku tidak tahu akan seperti apa reaksinya. Mungkin dia akan bersikap biasa-biasa saja?

"Aku lihat, akhir-akhir ini kamu pulangnya sering sama Cyclone." Anika berucap seraya berjalan beriringan denganku sambil membawa papan ujian. Aku juga sama dengannya, pergi ke sekolah hanya dengan membawa papan ujian. Aku juga membawa buku tulis dan tempat pensil. Buku tulis itu untuk mengotret, sedangkan tempat pensil untuk menyimpan pulpen, penghapus, tip x dan lain-lain agar selama UTS aku tidak perlu meminjam barang ke orang lain.

Hari ini adalah hari pertama UTS. Tadi pagi, Mama membuatkanku roti lapis keju dengan banyak timun, tomat, dan daging. Sengaja, karena dia bilang aku harus memiliki banyak energi dan nutrisi agar aku bisa menjawab soal dengan baik.

Mata pelajaran pertama adalah mata pelajaran matematika. Tadi malam aku belajar sangat keras sampai migrain.

Matematika bukan mata pelajaran yang aku sukai, tapi meskipun begitu, aku ingin mendapat nilai bagus pada UTS ini. Minimal nilai lima puluh.

"N-nggak." Aku meralat pertanyaan Anika. Anika memicingkan matanya dengan tersenyum. Ekspresinya sangat menyeramkan menurutku. "Kamu bohong ya ...?" tanyanya.

Aku menghembuskan napas. "Nggak kok, buat apa aku bohong?"

"Kamu bohong, aku sering liat kamu jalan bareng Cyclone. Aku liat kalian jalan pas aku pulang bareng Ayah."

Aku ... ketahuan.

"Kamu ada apa hayoo sama Cyclone?" Anika menggodaku. Aku mendeham. "E-nggak, nggak ada apa-apa kok."

"Nggak ada apa-apa atau ...?"

"Kami cuma belajar bareng." Aku akhirnya mengaku. Berbicara dengan Anika dalam keadaan kepo bisa membuatnya tidak akan berhenti. Anika tidak akan berhenti, kecuali kalau dia sudah menemukan jawabannya.

Matanya membesar, sedangkan aku membuang muka. Aku yakin sekali kalau dia saat ini akan berteriak dengan suara super cemprengnya.

"Oh my God! Oh my God! Oh my God!"

Tuh kan ...,

"Gimana ceritanya? Dia yang ngajak atau ...,"

"Dia sendiri yang ngajak, padahal dia pinter," ucapku, lalu kembali menatap jalan. Anika tiba-tiba saja tersenyum. "Hmm ... mungkin ini beneran jadi langkah awal kalian buat ...,"

"Nggak mungkin!" Aku meralat ucapan Anika. Kami berdua sama-sama berumur tiga belas tahun, dan Anika sudah diperbolehkan menonton sinetron diumurnya yang segitu. Aku saja diumur segini masih nonton film Tom and Jerry. "Aku sama Cyclone nggak mungkin bakal kayak gitu." Aku meralat lagi. Aku benar-benar tidak suka dengan apa yang Anika katakan.

Anika terkekeh, dia kemudian berjalan mendahuluiku. "Kalo beneran kejadian, jangan salahin aku ya."

Lihat selengkapnya