SI ANGIN

Dreamerity
Chapter #10

#Wind 9 - Biru

BERKAT kejadian dua hari yang lalu, aku tidak jadi membeli buku novel baru. Aku terlalu syok saat itu dan memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Cyclone sendiri yang mengantarku, karena dia menyadari betapa syoknya aku.

Dia tidak bertanya bagaimana keadaanku karena tampaknya dia mengerti melalui ekspresi yang sudah aku lontarkan.

Setelah pulang, aku langsung ke kamar dan ganti baju, lalu setelah itu tidur. Aku tidur sampai sore dan tidak menyadari bahwa Mama sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Mama tidak membangunkanku karena dia merasa kalau aku kelelahan karena mengerjakan semua soal UTS, jadi karena itulah dia membiarkanku tidur.

Kemudian saat kami makan malam, aku bertanya padanya perihal petir. Bagiku, Mama adalah wanita paling cerdas di dunia. Meskipun aku menanyakan hal yang tidak masuk akal sekalipun, Mama tetap akan menjawabnya.

"Petir itu menyukai makhluk hidup, kalau makhluk hidup tersebut disambar olehnya, maka dia akan langsung mati."

Mendengar hal itu, pikiranku langsung melayang pada anak laki-laki yang tersambar petir yang pernah aku temui dua hari yang lalu. Aku ingat sekali--meskipun aku menutup mataku--dia tersambar petir berwarna kuning, setelah itu dia menghilang di tempat.

Aku memiliki asumsi yang menyeramkan perihal ini, asumsiku adalah ... jangan-jangan ... anak laki-laki itu berubah menjadi abu setelah disambar petir, tapi di sisi lain, aku ingat sekali aku tidak melihat abu berterbangan maupun bau daging yang bisa menjadi bukti bahwa dia benar-benar mati--maaf, maksudku meninggal.

Aku merenungkan hal itu setelah makan malam. Lalu aku pun mencari informasi di internet perihal manusia yang tersambar petir. Internet berkata, bahwa manusia memiliki kesempatan hidup sembilan puluh persen setelah disambar petir, sedangkan sisanya, ya ... begitu.

Lalu aku juga membaca ada tiga manusia yang masih hidup saat tersambar petir, diantaranya; Winston Kemp, Melvin Roberts, dan Roy Sullivan. Aku akan menjelaskannya satu-persatu jika kalian tidak keberatan.

Menurut internet, Winston Kemp sebenarnya hanyalah seorang tukang listrik yang hendak menyelamatkan labunya dari sambaran petir. Saat dia sedang mengambil labu, tiba-tiba saja petir datang lalu menghantamnya. Setelah petir itu menghantamnya ..., dia masih hidup dan memutuskan untuk lari dari ladang. Lalu keesokan harinya muncul bekas luka dengan pola yang unik.

Lalu ada Melvin Roberts. Pria ini tersambar petir selama enam kali, dan untuk yang terakhir dia tersambar petir saat dia sedang memotong rumput di siang yang terik.

Kemudian yang terakhir ada Roy Sullivan. Diantara ketiga orang yang sudah kusebutkan, Roy Sullivan adalah orang yang terkena sambaran petir terbanyak. Tujuh kali, begitu kata internet. Meskipun dia sudah tujuh kali disambar petir, dia tetap menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Orang-orang bilang, hidup Roy Sullivan sangat dramatis.

Mengenai hal ini, aku juga bertanya pada Mama setelah membaca kisah tiga orang itu di internet. Pertanyaanku kira-kira seperti ini, "Ma, bagaimana kalau ada orang yang tersambar petir, tapi setelah disambar, dia masih hidup?"

"Oh, kalau soal itu, artinya Tuhan memberinya anugrah untuk terus tetap menjalani kehidupan, takdir Tuhan kadang seperti plot twist yang dapat membuat semua orang terkejut."

Kalimat Mama sangat indah, tapi kurang memuaskan.

"Cyclone kamu salah, caranya bukan seperti itu."

Aku langsung mendengar ucapan Amartya saat aku sampai di ambang pintu. Aku melihatnya sedang berdiskusi dengan Cyclone. Hal yang kutahu, sepertinya mereka sedang berdiskusi tentang Aljabar dan Aritmatika Sosial. Aku tahu itu karena buku LKS mereka terbuka dan menampilkan bab enam. Aku sendiri sebenarnya hanya membaca pengertiannya saja, untuk latihannya aku belum mencobanya, karena aku belum mengerti dan kantukku menyerang saat itu. Namun hari ini, aku yakin Bu Meli akan menjelaskannya.

"Yuriel!"

Kedua bahuku terangkat, mataku melotot, dan beberapa anggota tubuhku tiba-tiba saja menegang. Cyclone ... bisa tidak dia tidak berseru seperti itu? Bikin kaget saja.

Aku melangkahkan kakiku seraya masuk. Saat aku melangkah, tiba-tiba saja Cyclone sudah ada di depanku dengan tersenyum lebar.

"Yuriel, kamu udah coba latihan bab enam? Amartya juga udah ngerjain. Kalo kamu udah, gimana kalo kita bandingin sama yang punya kamu."

Astaga ... rajin sekali.

"Aku ... masih belum ngerti."

"Eh?" Cyclone mengedipkan matanya beberapa kali. "Kemarin malam aku ngantuk banget, jadi nggak sempet nyoba," imbuhku pada akhirnya.

"Oh, gitu ...." Cyclone mengangguk paham. Matanya tiba-tiba saja melebar, aku bisa melihat keceriaan di sana. "Jam istirahat nanti kamu ada waktu nggak?"

"Kayaknya ...?" Oke, itu bukan jawaban.

Lihat selengkapnya