Mama! Orang yang ngetuk pintu balkonku orang yang kemaren itu lho!
RASANYA aku ingin meneriakan hal itu kepada Mama, tapi aku sadar diri karena saat itu aku sedang ada di sekolah. Di perpustakaan. Banyak murid-murid dari kelas lain dan berbagai tingkatan datang ke tempat ini. Entah hanya sekadar meminjam buku, ataupun mencari-cari buku novel yang mereka suka karena perpustakaan sekolah kami memiliki koleksi novel yang cukup lengkap.
Amartya dan Chrome belum menyudahi obrolan mereka, tampaknya keduanya masih sedang serius. Lalu Cyclone ... dia masih tersenyum, dan ... aku takut.
Namun syukurnya, aku memiliki pertanyaan masuk akal dibalik perasaan takutku.
"Da-dari mana kamu tahu kalo dia itu orang yang suka ngetuk pintu balkon?"
Benar. Dari mana dia tahu?
Jika dia tahu, ada kemungkinan kalau dia terlibat 'kan? Maksudku saat peristiwa dua hari yang lalu, aku masih ingat, dia dengan berani mengusir anak laki-laki itu, padahal anak laki-laki yang aku temui tentu lebih tua darinya.
"Kamu hari ini ada waktu nggak?" Aku membesarkan mata. Dia tidak langsung menjawab ucapanku. "Aku pengen kita ngomongin hal ini secara tertutup. Amartya bisa datang kapan aja 'kan? Jadi ... aku pengen, cuma kamu doang yang dengerin ceritaku."
Aku melenguh dalam hati. Namun, di sisi lain aku bisa membenarkan apa yang Cyclone katakan. Tetapi, kalau sudah begitu ... bukankah sebenarnya dia memiliki rahasia?
Aku jadi penasaran. Dia akan membicarakan apa ya? "Ada, kenapa emangnya?"
"Ada beberapa hal yang ingin aku omongin sama kamu. Mama kamu ada di rumah tidak?" tanya Cyclone. Kenapa dia menanyakan Mamaku? "Tergantung jam kerjanya sih. Kadang dia pulang cepat, sore, atau malam. Kalau hari ini dia nggak ngasih tahu. Mungkin dia pulangnya malam."
"Oh, sayang dong. Aku pengen sekalian ngomong ke Mamamu padahal," ujarnya, sedikit kecewa. Aku mengernyitkan kening. Memangnya dia mau membicarakan apa pada Mama?
"Tapi meskipun begitu, aku akan datang, jadi kita ngomongnya di rumahmu ya, sambil belajar."
Aku agak terkejut dengan keputusannya, tapi aku memutuskan untuk mengiyakan saja. Ternyata, membujuk Cyclone itu mudah ya. Meskipun mudah ... entah kenapa aku jadi curiga.
Yah, sekarang di depanku ada meja lesehan yang mana di atas meja ini ada buku pelajaran, buku catatan, kotak pensil, sepiring kue coklat, dan dua gelas susu. Untuk dua makanan tadi, aku sendiri yang menyiapkannya karena aku ingin mengobrol dengan Cyclone sambil bersantai.
Cyclone sendiri saat ini sedang mengeluarkan kotak pensilnya. Dia bilang, dia punya rautan pensil baru, dan syukurnya aku tidak tertarik. Aku ini bukan anak SD lagi tahu.
"Mamamu akan pulang sore ya?" Cyclone bertanya setelah dia menaruh kotak pensilnya di atas meja. Aku mengangguk. "Iya. Sebelum kamu dateng, udah aku telepon. Dia bilang kalo bisa, kamu jangan pulang dulu ya, soalnya dia mau masak sesuatu."