AKU membenamkan diri pada leher anak laki-laki yang menggendongku. Ini memang tidak sopan, aku tahu, tapi setidaknya, kepalanya sudah ditutup oleh penutup kepala sehingga aku tidak perlu merasa bersalah kalau tiba-tiba aku mengeluarkan ingusku. Namun, mengeluarkan air mata ke baju orang lain tampaknya masih sama kurang ajarnya dengan menempelkan ingus ke baju orang.
Mama ... aku teringat Mama.
Entah sudah langit ke berapa sekarang, dan kami masih terbang ke atas. Meski beberapa menit sudah berlalu, aku ingat bagaimana Mama tergeletak dan menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Oh, tentu saja ini masuk akal, karena aku baru saja mengalami kehilangan!
Aku lihat ke atas. Di atas kami ada Kakek dan Cyclone yang sedang digendong. Posisinya kira-kira sama seperti aku; menenggelamkan wajah ke leher orang, leher kakek.
Cyclone juga sama sedihnya denganku dan kurasa, sangat wajar kalau Cyclone sangat sedih mengingat dia tidak pernah bertemu Mama. Ah, ralat!
Maksudku, pertemuannya dengan Mama hanya sekadar belajar bersama di rumahku setiap Minggu sebelum UTS. Kemudian sisanya, dia membuatku sadar bahwa sebenarnya Cyclone turun dari langit hanya ingin bertemu Mama dan aku.
Aku meregangkan pelukan dari leher anak laki-laki yang telah menggendongku, kemudian menghela napas. Aku juga dengan sesekali mengusap air mataku dan berusaha mengenyahkan rasa sedih.
"Ki-kita mau ke mana?" Aku memberanikan diri untuk bertanya kepada anak laki-laki ini, sekaligus ingin meminta maaf karena telah membuat tudung biru tuanya basah karena air mataku.
Tidak ada jawaban. Hening. Yang ada hanyalah desiran angin dan juga awan yang bergerak di kanan, kiri, atas, dan bawah.
Aku menunduk sedih. Apakah hal yang tanyakan aneh? Maksudku, aku hanya bertanya akan ke mana kami, dan Kakek pun sudah bilang bahwa kami akan di bawa ke Langit. Maksudku, ke langit mana? Kata guru di sekolah, ada tujuh lapisan langit dan aku tidak tahu--dan tidak hafal--dan tidak mengerti kami akan pergi ke langit lapisan mana.
Aku hanya ingin tahu secara spesifik, agar aku bisa paham ke mana kakek dan anak laki-laki ini membawa kami. Mungkin Cyclone sudah tahu tempatnya, tapi aku tidak.
"Awindya." Tiba-tiba anak laki-laki ini berucap membuatku berkedip dan refleks mengatakan kata 'hah'.
Terus terang, kukira dia tidak akan menjawab pertanyaanku, tapi, tak kukira dia akan menjawabnya dengan pelan.
"Awindya." jawabnya lagi. Aku tidak tahu Awindya itu apa, yang jelas aku sangat berterima kasih kepada anak laki-laki ini karena mau menjawab pertanyaanku. Aku nyaris akan menangis karena tersinggung kalau saja dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku sedang sedih, baru saja kehilangan, dan sensitif, jadi, mohon maklumi.
Setelah anak laki-laki ini menjawab, kepalaku pun lagi-lagi mengarah ke atas. Mataku refleks membesar kala melihat objek masif yang ada di atas.
Besar sekali ....
Itu ....