SI ANGIN

Dreamerity
Chapter #17

#Wind 16 - Rumah

AKU sudah bilang kepada laki-laki ini kalau aku ingin berjalan sendiri karena orang-orang yang ada di kanan-kiriku tampak berjalan dengan tenang menelusuri jalanan setapak dengan kiri-kanan hutan yang lebat. Namun hal yang selalu dia katakan ketika aku mengatakan hal itu adalah, "Kau kesakitan."

Dan masalah lainnya adalah aku tidak sesakit sewaktu aku baru pertama kali menginjak rumput!

Lalu, aku juga ingin bertanya padanya perihal akan ke mana kita, tapi, suasana serius yang mengerubungi kami--khususnya orang-orang yang ada di sekeliling--tampaknya bukan waktu yang tepat untuk menanyakan ke arah mana kami akan pergi. Mungkin mereka yang akan menunjukannya secara langsung, dan aku pun tidak tahu mengapa bisa seyakin itu.

Aku mengangkat kepala begitu aku melihat objek masif nan tinggi yang ada di depan. Sama seperti sewaktu pertama kali kumelihat Pulau Apung, bahkan pemandangan ini begitu familiar mengingat pemandangan yang kulihat pernah ada di film kartun yang pernah kutonton.

Beberapa langkah kemudian akhirnya kami keluar dari hutan, dan mataku pun bisa dengan jelas melihat pemandangan ini; banyak menara tinggi yang berdekatan dengan ujung kerucut yang menjulang seperti menara Rapunzel, dan kebanyakan bagian kerucut menaranya berwarna biru dengan bahan bangunan yang terbuat dari batu. Beberapa ada yang tembok batunya mulus, dan beberapa ada yang dihiasi tanaman merambat yang hijau ataupun tanaman merambat berbunga.

Selain itu, di atas sana aku bisa melihat dengan jelas orang-orang yang hilir mudik terbang dengan jubah biru tua mereka ataupun topi caping bambu mereka.

Ini ... sangat luar biasa!

Aku menahan diri untuk tidak ber'wah' kagum mengingat saat ini aku maupun anak laki-laki ini masih dikelilingi oleh orang dewasa, dan kurasakan tapak kakinya kini sedang menapak ke tangga berbatu yang diapit oleh menara-menara berjajar di kanan-kiri.

Aku kemudian melihat ke sekeliling, para Ibu-ibu, anak-anak, muda-mudi, dan lain-lainnya menatap kami seperti menatap segerombolan para penjajah yang baru saja memasuki wilayah mereka. Tidak, mereka tidak menatap segerombolan orang ini, mereka menatapku.

Itu bisa kurasakan dari tatapan mereka yang penuh ingin tahu dan juga menusuk. Aku bahkan bisa dengan jelas mendengar bagaimana beberapa diantara mereka berbisik dan juga menatapku dengan tatapan tajam.

Aku langsung takut. Karena rasa takut inilah aku pun kembali memeluk leher laki-laki ini dan menunduk.

-

Lihat selengkapnya