"Duduklah dulu, Nak Rayes," ucap pak Tanjaya, "Elin, ambilin es buat kompres ya. Biar gak bengkak tu pipi temannya."
Annelin mengangguk. Melepas tas sekolahnya dan meletakkannya di sofa sebelum berlalu ke belakang.
"Maafkan Aldi ya, Nak Rayes. Kami semua sangat khawatir karena Elin belum juga pulang. Elin gak pernah pulang telat. Kalaupun ada kegiatan, ia pasti ngasih kabar."
"Gak pa pa, Om. Yang salah saya kok, Om. Tadi pas ingat mau ngasih kabar, ponsel Elin abis batre. Trus pas nelepon Om pakai HP saya, gak ada yang ngangkat Om," jelas Rayes.
Pak Tan mengangguk. "Iya. Ponsel Om ketinggalan di rumah pas kami nyari Elin ke rumah temannya di RT sebelah."
"Aduh ... Ray benar-benar minta maaf, Om."
Percakapan mereka terhenti ketika Arkan, Aldi dan Aldo ikut masuk. Mereka duduk di sofa, mau ikut mendengarkan penjelasan Rayes.
"Rayes mengajak Elin ke Jembatan Tanjung, Om. Ada yang ingin Ray tanyakan pada Elin."
"Jembatan Tanjung!? Kamu bawa Elin ke pantai ya!" seru Aldi.
"Stt ... Di, kalau kamu gak bisa tenang, kamu ke belakang aja," usir pak Tan.
Aldi menutup mulut mendengar kalimat ayahnya.
"Teruskan, Nak Rayes. Kenapa mengajak Elin ke sana?"
"Saya ingin memastikan sesuatu sekaligus mau mengembalikan benda milik Elin, Om. Benda yang masih saya simpan setelah bertahun-tahun," ucap Rayes.
Pak Tan merasa sangat heran mendengar ucapan Rayes. Namun ia menunda bertanya, karena Elin datang dengan bungkusan es batu dalam kantong handuk waslap yang sudah diikat bagian atasnya dengan karet gelang. Elin memberikan es itu pada ayahnya.
Pak Tan yang duduk bersebelahan dengan Rayes segera mengulurkan handuk waslap tersebut ke pipi kiri Rayes.
"Pegang ini, Nak Ray," ucapnya. Rayes mengangguk dan menahan kompres itu di pipinya.
"Agak enakan?"