Si Bungsu

DIANAZ
Chapter #1

Roti

Lantunan merdu musik nasyid dari ruang tengah membangunkan tidur Annelin. Hari minggu, hari libur yang ia tunggu karena ia sudah punya janji dengan sahabatnya Risa. Annelin bangun lalu membuang selimut yang ia pakai ke arah bawah ranjang. Selimut tebal tersebut mendarat di lantai dalam keadaan kusut. Ia meregangkan tubuh sambil menguap lebar. Mereka akan jalan-jalan pagi ini, ke arah pantai yang pastinya sudah penuh dengan orang-orang yang ingin berolahraga ataupun sekedar nongkrong dan cuci mata. Area jogging track di sana dipenuhi anak muda ketika hari libur.

Annelin berjalan dan menarik handuk yang ada di gantungan dibalik pintu kamarnya. Ia berniat membuka pintu dan pergi mandi, namun rasa tidak nyaman di perutnya membuat Annelin mengernyit. Ia melirik ke arah kalender yang dulu diberikan oleh seorang caleg saat kampanye pemilu yang tertempel di dinding dekat meja belajarnya.

Apakah sudah waktunya? pikir Annelin sambil berjalan mendekati meja belajar. Ia mengernyit dan menatap ke arah kalender, tanda silang di bulan sebelumnya membuat ia mengerang. Waktu menstruasinya sudah tiba, rasa tidak nyaman di perutnya ini ia yakini adalah tanda awal haidnya akan datang, yang berarti akan menyusul rasa sakit berdenyut di bawah pusarnya sebelum haidnya benar-benar datang dengan lancar. Dengan penuh rasa sesal ia mengambil ponsel yang ada di atas meja belajar dan menghubungi sang sahabat, Risa.

"Halo Ris," sapa Annelin ketika suara cempreng khas sahabatnya menjawab panggilan.

"Hai Lin. Wah, Aku baru aja mau siap-siap. Kita jadi pergi kan?"

"Aku nelepon karena mau kasih tahu kita gak jadi pergi Ris. Aku sakit perut, kayaknya mau haid deh. Bakal runyam kalau kumat nanti pas kita lagi joging di sana."

Risa yang tahu betul bagaimana keadaan yang dialami Annelin ketika menjelang haid hanya bisa menarik napas panjang.

"Ya, udah, Lin. Batal aja. Barabe kalo nyerinya kumat, lain kali aja kita perginya."

"Oke. Maaf ya Ris. Dahh."

"It's oke, Caayang. Dah juga."

Annelin meletakkan kembali ponselnya, kemudian keluar dari kamar ingin menuju ke kamar mandi yang terletak di belakang. Seperti biasa, ayahnya, Tanjaya Firdaus yang biasa dipanggil Pak Tan oleh warga di RT mereka, sudah rapi duduk di ruang tengah dengan segelas kopi hitam yang masih mengepul di atas meja. Rambut basah ayahnya disisir ke belakang, membuat kening lebar dan alis tebal yang dibanggakan ayahnya itu terlihat jelas. Karena fokus menonton TV sang ayah tidak melihat ketika Annelin berjalan melewatinya.

Sampai di dapur, Annelin melihat satu sosok lagi yang memang biasa ada di dapur di jam seperti ini. Saudara tertuanya, anak sulung keluarga Tanjaya, Arkan Maulana biasa bangun sebelum subuh, lalu setelah mandi dan menunaikan kewajiban sholat, Arkan yang biasa dipanggil Abang oleh Annelin akan memulai aktifitas di dapur. Abangnya memang suka memasak dan Annelin mengakui kalau hasil olahan abangnya itu memang enak. Kenapa Arkan yang memasak? Karena ibu mereka telah pergi menghadap Sang Pencipta ketika Annelin berumur lima tahun karena kecelakaan. Annelin tidak ingat sejak kapan abangnya itu hobi memasak, yang pasti, ia sudah terbiasa melihat laki-laki dengan tinggi 178 cm tersebut memakai celemek dan memegang spatula di dapur. Masakannya bahkan lebih lezat dibandingkan masakan Annelin.

"Abang bikin nasi goreng pedas, Lin. Telor yang kamu ikut didadar aja ya, biar sekalian." Arkan menyapa Annelin yang ngeloyor ke kamar mandi. Gadis itu hanya mengangguk lesu. Dengan ekor matanya Arkan melirik adiknya yang terlihat tidak bersemangat, namun ia tidak bertanya,lalu meneruskan pekerjaannya mengocok telur.

Lihat selengkapnya