2
KELOMPOK BELAJAR
Di Sekolah Menengah Pertama Mutiara Bangsa, ada dua bintang yang bersinar, kedua sinarnya saling bertolak belakang. Masing-masing mewakili sifat yang disukai dan dibenci oleh manusia. Sifat rajin dan sifat malas. Anak yang rajin mewakili sifat yang disukai manusia, bersinar menerangi inspirasi, menjadi contoh yang disebut-sebut. Anak yang malas mewakili sifat yang dibenci manusia, bersinar menerangi cemoohan, menjadi kemurkaan setiap guru.
Baz mewakili sifat yang disukai manusia, bintang pertama dalam cerita ini, pada dirinya tak ada cacat yang bisa disebut, ia menjadi inspirasi, menjadi contoh bagi sesama siswa. Pujian mengalir bagai mata air yang jernih, seolah tiada celah menghiasi kepribadiannya.
Zam mewakili sifat yang dibenci manusia, menjadi bintang redup seolah tiada kebaikan padanya, sifat malas menjadi simbol kepribadiannya. Ia datang ke sekolah hanya tiga waktu: pertemuan pertama, ujian tengah semester, dan ujian semester. Ajaibnya, setiap kali Zam mengikuti ujian, sekalipun tidak pernah tidak lulus. Sehingga Zam tetap naik kelas, walau jarang masuk kelas. Belakangan kuketahui, ia tipe anak yang tidak cocok dengan suasana kelas, ia lebih nyaman belajar jika di luar kelas. Itulah sebabnya hanya datang pada pertemuan pertama, mencatat pokok materi, lalu membeli buku untuk dipelajari di tempat yang dia sukai.
Zam belajar hanya ketika mendapat dorongan dari dalam dirinya. Sehingga di mana pun, ketika dorongan untuk belajar tiba, ia harus mengikuti dorongan itu, kalau tidak ia akan tampil sebagai orang gila. Seolah ada yang hilang dalam dirinya. Cerita Zam suatu ketika, ia bahkan pernah belajar di dalam kakus. Gara-gara dorongan untuk belajar tiba, bersamaan dengan dorongan hendak berhajat besar. Siswa yang mendengar cerita Zam tertawa terbahak-bahak, membayangkan sifat aneh yang dimiliki oleh Zam. Bahkan sifat polos dan lugu Si Burung Penyendiri masih kalah dengan sifat aneh yang dimiliki Zam –begitu kira-kira maksud tawa siswa.
Bagi para guru Sekolah Menengah Pertama Mutiara Bangsa, tidak peduli dengan kehadiran Zam, yang penting lulus pada pelajaran yang dihadapi. Bukan karena para guru tidak peduli dalam arti sebenarnya, hanya saja mereka lelah menghadapi sifat aneh yang dimiliki Zam. Setiap kali ditegur, Zam hanya mengiyakan teguran para guru, tetapi tidak pernah mengiyakan dalam tindakan. Ketika orang tua Zam diundang, mereka lebih tidak peduli lagi, sebab bagi mereka yang penting Zam lulus.
Tepat ketika kami naik kelas dua, Sekolah Menengah Pertama Mutiara Bangsa kedatangan guru baru, guru itu bernama Tegas Bung Tangkas, nama yang aneh. Pak Tegas – begitu biasa dipanggil – datang dari pulau seberang. Seperti namanya ia seorang guru yang tegas, rajin dan tepat waktu. Setiap siswa harus datang tiga puluh menit sebelum Pak Tegas tiba di kelas.
Pada awalnya, banyak siswa yang menganggap remeh peraturan yang dibuat Pak Tegas. Mereka datang kurang dari tiga puluh menit. Ajaibnya, sebab Pak Tegas mampu mengetahui waktu siswa itu datang. Ada rumor yang berkembang, bahwa Pak Tegas memasang kamera pengintai. Tetapi kamera itu tidak pernah ditemui oleh siswa, bahkan usaha untuk menghancurkan jejak kamera diketahui oleh Pak Tegas. Sehingga siswa mengurungkan niat mencari tahu letak kamera itu.
Di antara para guru, hanya Pak Tegas yang dapat memaksa Zam masuk kelas. Sebab jika Zam tetap ngotot dengan sifat anehnya – yang penting lulus – ia telah diultimatum, agar segera meninggalkan Sekolah Menengah Pertama Mutiara Bangsa. Ultimatum itu bersifat mutlak, sebab Zam tidak di izinkan ikut ujian, sekalipun Zam bisa menjawab soal dengan benar.
Bagi Pak Tegas, sekolah bukan hanya untuk lulus seperti anggapan Zam, tetapi sebagai wadah membentuk karakter siswa, agar menjadi manusia yang sebenarnya manusia. Dalam sekolah, ada aturan yang harus ditaati oleh guru dan siswa. Begitu pula dalam masyarakat, setiap anggota masyarakat harus menaati aturan yang berlaku. Apabila aturan itu tidak ditaati, maka interaksi dalam sekolah atau masyarakat akan kacau, sebab terjadi benturan kepentingan yang saling bertolak belakang. Dengan demikian proses belajar mengajar tidak berjalan semestinya.
Agar di tengah masyarakat, siswa dapat menaati aturan yang dibuat bersama, mereka harus terbiasa menaati aturan yang dibuat oleh sekolah. Sehingga sekolah menjadi tempat yang tepat membentuk karakter anak. Begitu pandangan Pak Tegas, ketika banyak yang menyoroti metode mengajar yang diterapkan.
Tetapi kisah ini bukan tentang metode mengajar yang diterapkan Pak Tegas, cerita ini tentang persahabatan tiga karakter yang bertolak belakang, menyatu dalam irama persahabatan, bergelut konflik yang mewarnai perjalanan mereka bertiga.
Sudah di ceritakan sebelumnya, bahwa Zam terpaksa mengikuti aturan yang dibuat Pak Tegas. Kebiasaan aneh Zam berubah ketika Pak Tegas mengajar, selebihnya, Zam tetap menjadi Zam yang pemalas, jika berhadapan dengan guru selain Pak Tegas. Kebiasaan itu tidak bisa berubah.
Selain tegas dan disiplin, Pak Tegas memiliki banyak metode yang sama aneh dengan namanya. Ketika kami naik kelas dua, Pak Tegas membentuk kelompok belajar, kelompok belajar itu menjadi awal dari persahabatan tiga karakter yang berbeda. Kelompok percontohan – begitu Pak Tegas memberi nama kelompok itu – dibentuk berbeda dengan kelompok lainnya. Kelompok itu terdiri dari tiga anggota, Baz yang rajin, Zam yang pemalas, dan Aku yang pendiam.
Melihat komposisi anggota kelompok percontohan, sesama siswa berteriak, “Sungguh celaka nasib Si Burung Penyendiri, Pak Tegas. Ia harus merana di antara dua dahan. Yang satu hijau subur, yang lain tandus kering. Entah di mana Si Burung Penyendiri memilih bertengger.”
“Di situlah tujuan kelompok belajar ini dibuat, wahai siswaku yang berceloteh nyaring! Agar Si Burung Penyendiri mampu menempatkan dirinya di antara dua dahan. Kita lihat nanti, apakah Si Burung Penyendiri mampu menenteramkan, dua dahan dengan kicaunya yang merdu, atau malah meluruhkan dua dahan sekaligus.” Mendengar tanggapan Pak Tegas, sesama siswa diam membisu, mana ada yang mampu menghentikan tekad bulat orang setegas Pak Tegas? Ia seperti pohon buraksa yang berdiri kokoh, berakar tunggang. Takkan goyah. Walau diterpa angin kencang, tegap berdiri memaku bumi dengan akarnya.
**
Matahari panas meninggi siang itu ketika Aku tiba di gedung perpustakaan sekolah. Sekalipun banyak pepohonan berdiri kokoh, tetapi matahari tetap terasa panas menyengat. Maklum sekolah ini tepat berada di tengah pusat kota, sehingga halaman hijau rindam sekolah tidak mampu menahan terik matahari.
Seperti teriknya matahari siang itu, begitu pula kondisi kelompok percontohan. Sudah dua jam dari ketentuan yang telah disepakati, Zam sang pemalas belum tampak batang hidungnya, membuat Baz si anak rajin resah tiada akhir. Aku yang datang telat tiga puluh menit, menjadi pelampiasan kejengkelan Baz kepada Zam. Berbicara tepat waktu, Baz serupa tetapi beda dengan Pak Tegas.
Kerajinan Baz serupa dengan Pak Tegas. Bagi Baz, kompromi waktu adalah mustahil, sekali disepakati, komitmen harus menjadi landasannya. Hanya saja, Baz tidak mampu mengetahui waktu siswa datang, sehingga Baz mampu terkecoh oleh berbagai alasan yang dibuat oleh orang lain. Terutama oleh Zam sang pemalas, orang yang dengan mudah merubah halangan menjadi alasan yang meyakinkan. Karena berbagai sisi negatif yang biasa dijadikan alasan, sebagai dalil yang meyakinkan, sehingga Baz tidak percaya oleh berbagai alasan yang dibuat orang lain.
Siang itu, Aku terjebak di tengah pusaran panasnya rasa jengkel. “Kamu juga, Mazab. Terlambat. Apakah kamu tidak tahu kesempakatan kita tadi siang? Pukul 13 siang, tetapi kamu datang pukul 13.30. Kamu tidak paham, betapa kusutnya hati manusia jika menunggu?” Sergah Baz siang itu. Mendengar kalimat Baz, Aku hanya bisa merunduk, pasrah. Tetapi kepasrahan manusia juga ada batasnya. Benar Aku merunduk.
Tetapi kalimat pembelaan keluar begitu saja, “Maaf, Baz. Aku tahu kesepakatan kita pukul 13 siang. Tetapi Aku harus bantu-bantu di rumah Paman. Maklum Aku hanya menumpang. Sekali lagi maaf Baz.” Itulah kalimat pembelaanku, tetapi bagi Baz, kalimat itu sama saja dengan alasan.
“Kalau terlambat, akui saja kamu terlambat, Mazab!” Kata Baz meragukan alasanku. Itulah celah yang dimiliki Baz, disamping banyak keistimewaan yang dimiliki. Ia tipe anak terlampau curiga, sehingga tidak bisa dengan mudah menerima alasan. Belakangan sikap terlampau curinga menjadi bumerang dalam kisah Baz di sekolah ini, sehingga lepaslah bunga idaman dari tangannya.
Baz anak paling rajin di sekolah, jika berhubungan dengan ketepatan waktu, alasan hanya menjadi aroma busuk, luruh terbawa angin. Tidak peduli kalimat menyakinkan, tidak peduli alasan itu memang realita. Bagi Baz, alasan tetap alasan, kalimat yang dibuat merdu agar mampu menawan hati. Membuat kepercayaan Baz kepada alasan sirna, seperti sirnanya embun, ketika matahari datang menghangatkan bumi.
Pukul 15.30 Zam datang di gedung perpustakaan.
“Maaf, Baz. Saya terlambat, saya baru bangun, ketiduran setelah pulang dari sekolah.” Kata Zam setelah datang terlambat. Tidak seperti alasanku yang memang terkesan masuk akal, Zam justru datang dengan alasan yang bisa menyebakan siapa pun marah. Aku yang terlambat tiga puluh menit, membuat alasan realistis, tetap saja mendapat marah, apalagi datang dua jam tiga puluh menit kemudian. Namun tampaknya, dibalik alasan yang dibuat oleh Zam, ada maksud strategi di dalamnya.
Lihat saja apa yang terjadi setelah kalimat itu keluar tanpa beban, tanpa rasa bersalah. “Apa katamu? Ketiduran? Sungguh kamu tidak punya perasaan, Zam! Saya kehilangan waktu belajar gara-gara menunggumu. Sementara Mazab kehilangan waktu membantu Paman di rumah.” Kata Baz berapi-api.
Aku terkesan, sekalipun sempat kena marah, akhirnya Baz juga membelaku –tetapi pembelaan Baz itu juga alasan, bukan? Sejak kapan Baz percaya terhadap alasan? Bukankah Ia sama sekali tidak mempercayainya? Aku membatin, dari situlah Aku sadar, bahwa terkadang orang membenci sesuatu, tetapi jika sesuatu itu tidak bisa berpisah dari rantai kehidupan, tetap saja sesuatu itu akan dilakukan, demi membenarkan apa yang sedang diperbuat.
Kita kembali menyimak pertengkaran Baz dan Zam.
Setelah mendengar kalimat Baz yang berapi-api, Zam membalas dengan kalimat yang santai tetapi menohok. Menohok jiwa yang dipenuhi amarah, “Siapa suruh datang tepat waktu, Baz. Kita datang kapan pun, tujuan kita berkumpul adalah untuk mengerjakan tugas yang diberikan Pak Tegas, bukan mempersoalkan waktu kedatangan kita. Kalau sekarang kita langsung mengerjakan tugas, tentu sudah ada yang selesai. Kamu terlalu kaku memahami waktu, Baz.” Kata Zam menanggapi kalimat Baz yang berapi-api.
Sejenak, kalimat itu ada benarnya, sebab jika langsung mengajak kami mengerjakan tugas, tentu sudah ada beberapa halaman yang selesai, tetapi justru Baz mengajak Zam bersilat lidah. Namun jika kalimat itu disandarkan kepada pengucap, tentu kalimat itu salah seratus porsen, sebab bertentangan kondisi Zam yang datang terlambat, dengan kalimat yang diucapkan, tentang menghemat waktu yang terbuang. Mendengar kalimat itu bukan menyurutkan amarah Baz, justru membuatnya meledak.
“Dasar sampah sekolah, sampah masyarakat! Apa yang kamu andalkan dengan sikap malasmu, hah?” Sergah Baz penuh amarah. Kalimat sebelumnya telah berhasil membuat amarah Baz meletus. Atau itu maksud strategi Zam, membuat amarah Baz meletus? Entah.. yang pasti setelah kalimat itu keluar, bukan lagi tugas yang diberikan Pak Tegas yang diselesaikan, tetapi pertengkaran itu diselesaikan dalam bentuk perkelahian. Tidak terima disebut sampah sekolah dan sampah masyarakat. Zam menerkam Baz. Perkelahian tidak bisa dihindari. Aku yang berusaha melerai ikut terkena tonjokan, entah siapa tonjokan, yang pasti tonjokan itu terasa sakit, membuat kepalaku yang terkena tonjokan memar dan berjendul.
Perkelahian itu terhenti setelah sekuriti sekolah datang melerai. Tetapi balada jendul di kepala tidak langsung berhenti. Di samping sakit, sesama siswa meresponnya dengan kalimat mengejek. “Tampaknya, Si Burung Penyendiri terkena lentikan kedua dahan.” Kalimat itu disambung siswa yang lain. “Mungkin suaranya tidak merdu, hampir saja meluruhkan kedua dahan, daripada beresiko, kedua dahan bekerja sama melentik Si Burung Penyendiri.”
“Bagaimana pula suaranya bisa merdu, jika suka menyendiri, selalu sungkan bersuara?”
Kalimat itu sambung menyambung menjadi tawa, menjadi ejekan, menjadi kalimat sumbang. Sehingga udara seisi sekolah terasa hampa. Tugas kelompok belum selesai, waktu terus berlalu. Tiba di sekolah bukan disambut dengan baik, justru disambut dengan kalimat sumbang yang memekakkan telinga.
Mengetahui kejadian di gedung perpustakaan, Pak Tegas memanggil kami bertiga. Siswa yang tidak bersalah saja takut berhadapan dengan Pak Tegas, apalagi yang bersalah, sehingga hari itu terciptalah pengadilan yang mendebarkan. Yang paling disoroti Pak Tegas adalah Aku, sebab gagal menjadi penengah yang bijaksana.
Aku gagal menjadi hakim.
Begitulah kesimpulan Pak Tegas hari itu.
Tetapi yang mendapat hukuman sudah pasti Zam, sebab sudah terlambat, bukannya minta maaf justru memantik emosi. Baz selamat dari hukuman. Sebenarnya Baz juga bersalah, terlalu cepat terbawa emosi, padahal ia sudah paham sifat Zam yang selalu menyulut emosi, tetapi siapa pula yang mau menghukum karena terlalu cepat terbawa emosi?
Berdasarkan perintah Pak Tegas, kami harus menyelesaikan tugas dalam waktu satu minggu ke depan, jika gagal, semua anggota kelompok percontohan akan dihukum.
“Jika dalam waktu satu minggu, kalian belum bisa menyelesaikan tugas yang saya berikan, semua anggota kelompok percontohan akan saya hukum.” Begitulah kalimat Pak Tegas setelah menutup persidangan.
Hari itu kami memutuskan untuk istrahat. Awalnya Baz tidak mau dengan alasan klasik yang selalu didengungkan – menyita waktu belajarnya. “Tidak mau, Mazab. Pokoknya kita harus tetap hadir sebentar siang.” Kata Baz setelah kuminta untuk istrahat.
“Kamu bilang begitu, Baz. Karena kamu tidak mendapat hukuman dari Pak Tegas. Kalau kamu yang dihukum akan tahu bagaimana rasanya dihukum. Dan juga, Zam tidak bakal datang hari ini, walau kamu tetap datang ke gedung perpustakaan. Tidak pernah di hukum saja, tidak datang, apalagi sudah dihukum.” Kataku penuh keyakinan, seolah tahu sifat Zam, luar dalam.
Mendengar kalimatku, Baz tertawa, lalu berkata. “Jadi kalau besok kita kerja kelompok, Zam datang, karena besok Zam tidak dihukum, begitu maksudmu, Mazab?” Tanya Baz kepadaku menahan tawa.
Dengan yakin Aku mengangguk. “Benar, Baz.”
Mendengar kalimatku yang meyakinkan, tawa Baz yang tadi tertahan, kini tumpah ruah. “Sungguh kamu polos dan lugu, Mazab!” Kata Baz berlalu meninggalkanku yang diam membisu.
Sebentar kemudian baru kusadari Baz telah berlalu. Aku berteriak menanyakan maksudnya. “Maksud kamu apa, Baz?”
Dari kejauhan, Baz membalas teriakanku pula dengan teriakan yang sama. “Pikirkanlah sendiri, Mazab. Pikirkanlah!” Lalu berlalu melambaikan tangan, menunjuk pergelangan tangan, mengingatkan besok datang tepat waktu.
“Pikirkanlah? Apa pula yang dipikirkan? Ah.. Baz aneh hari ini.” Begitu kataku dalam hati. Aku membenak menanggapi perkataan Baz. Tetapi tak kunjung kutemukan jawaban keanehan Baz hari itu.
**
Keesokan harinya Aku datang tepat waktu seperti yang dijanjikan oleh Baz, Aku meminta izin kepada Paman, datang ke gedung perpustakaan tepat waktu.