3
TIGA ILMUWAN MUSLIM[1]
Batas akhir tugas yang ditugaskan oleh Pak Tegas telah tiba hari ini. Tidak peduli tugas itu selesai ataupun belum. Hari ini adalah batas akhirnya. Jika tugas itu belum selesai maka tiga orang anggota kelompok percontohan akan mendapatkan hukuman berat, mungkin hukuman paling berat yang pernah diterapkan Pak Tegas. Tetapi jika tugas itu selesai maka itulah yang diharapkan. Materi itu akan dijelaskan di depan kelas bergantian tiga orang. Kabar dari sesama siswa menyebut Pak Tegas sudah menyediakan hukuman yang paling tepat, menyapu seluruh kompleks sekolah selama satu bulan. Mendengar kabar itu yang dikira oleh sesama siswa berpengaruh di wajah kami, ternyata kami menanggapinya acuh tak acuh.
Pak Tegas sendiri kaget melihat wajah kami biasa-biasa saja, seolah tidak ada ketakutan menghadapi hukuman paling berat. Begitu kami masuk, Pak Tegas hendak mengumumkan hukuman bagi kami. Tetapi terpotong oleh acungan tangan Baz, memberitahu bahwa tugas yang dibebankan kepada kelompok percontohan telah selasai. Kekagetan itu tercipta, sebab lima hari yang lalu, kelompok percontohan berada di puncak konflik. Yaitu perkelahian antara Aku dengan Zam. Semua orang terperangah ketika Baz menjelaskan, bahwa justru puncak konflik itulah yang menyatukan kami bertiga.
“Luar biasa! Hebat!” Kalimat itu perlahan merubah wajah Pak Tegas menjadi ceria. Keceriaan Pak Tegas menghapus kesan angker di wajahnya. Melihatnya saja dapat meredam segala keberanian orang paling malas di sekolah, Zam. Wajah angker itulah yang membuatnya rajin ke sekolah, setiap kali jadwal mengajar Pak Tegas tiba. Wajah angker itu pula yang kutakuti hingga kuberanikan diri membuat perhitungan dengan Zam. Sehingga terjadilah perkelahian, membuat orang ragu, kelompok percontohan mampu menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya.
“Baiklah anak-anakku sekalian,” Begitulah kalimat Pak Tegas memulai pelajaran hari ini. “Kita persilahkan kepada kelompok percontohan untuk menjelaskan kepada kita, peran tujuh ilmuwan muslim dalam peradaban Islam di masa lalu.”
Mendengar kalimat Pak Tegas ruangan kelas berubah menjadi hening, terlihat ada rasa penasaran bergelayut dalam diri setiap siswa, mungkin mereka bertanya dalam hati, seberapa besarkah peranan tiga ilmuwan muslim pada masa lalu?
Pembicara pertama dalam kelompok kami adalah Baz, kami sepakat sebab Baz telah terbiasa berbicara dihadapan orang banyak, sementara dua rekannya; yang satu jarang masuk kelas, yang kedua bahkan digelari Si Burung Penyendiri. Maka tepatlah Baz sebagai pembicara pertama, sekaligus memberikan gambaran terhadap dua rekannya, bagaimana menjadi pembicara yang baik.
Kini Baz telah berdiri di hadapan kami sesama siswa.
“Sebelum masuk dalam pembahasan, saya mewakili kelompok percontohan mengucapkan terima kasih kepada Pak Tegas,” Mendengar kalimat itu semua mata berganti antara Baz dan Pak Tegas, “Sebab telah membebankan tugas kepada kami bertiga – terutama menjadi kelompok percontohan,” sesama siswa tertawa mendengar kalimat Baz, bukan hanya siswa, Pak Tegas pun ikut tertawa, “Selanjutnya ucapan terima kasih kepada kelompok percontohan – yang dengan susah payah berusaha menyingkirkan segenap ego sehingga tugas yang sungguh berat ini dapat selesai tepat waktu, dan tentu saja terbebas dari hukuman berat yang sudah menunggu.” Semua orang tertawa mendengar kalimat Baz.
Sekarang Baz telah menguasai ruangan itu, penjelasannya mengalir bagai air jernih, kami berdua memahami apa yang dilakukan Baz, agar mampu membuat kelas itu tunduk kepadanya, sehingga penjelasannya dapat mengenai sasaran dengan tepat. “Kami membagi tugas dalam kelompok percontohan menjadi tiga sub tugas: saya bertugas memulai pembahasan biografi Ibnu Haitsam, sementara dua ilmuwan lainnya akan dibahas oleh dua rekan saya, Zam dan Mazab. Dalam tiga sub tugas ini masing-masing mendapat tugas tambahan: pertama, Mazab akan memperlihatkan kepada kita ilustrasi dari setiap pembahasan, mulai dari pembahasan saya hingga pembahasan Zam, kemudian saya yang menggantikan Mazab memperlihatkan ilustrasi, ketika tiba giliran Mazab yang menjelaskan. Kedua, Zam yang akan menjelaskan kepada kita semua tentang bagaimana kita memetik pelajaran dari kisah tiga ilmuwan muslim. Baiklah saya akan memulai menjelaskan biografi Ibnu Haitsam: berturut-turut biografi singkat, kemudian peranannya dalam memajukan peradaban Islam.”
Baz terdiam sejenak setelah usai menjelaskan urutan tugas kami, matanya menyapu ruangan, lalu sebentar kemudian, keluarlah pertanyaan yang membuat kaget sesama siswa.
“Apakah kalian pernah melihat kamera?” Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Baz, wajah keheranan tampak mewarnai wajah sesama siswa. Pada pertanyaan pertama Baz tidak menemukan jawaban, lalu kembali mengulang pertanyaan hingga ketiga kali. Menanggapi pertanyaan Baz yang ketiga kali – entah sesama siswa bosan pertanyaan terus berulang – sehingga sebagian besar menjawab, bahwa mereka tahu dan bahkan hidup dengan kamera, kami tertawa menanggapi jawaban yang dilontarkan sesama siswa.
“Saya tidak bermaksud, menganggap remeh pengetahuan kalian, tentang teknologi dan informasi. Sejenak pertanyaan saya terdengar konyol, bertanya tentang pengalaman kalian dalam berinteraksi dengan kamera. Tetapi bukan itu inti pertanyaannya. Pertanyaan saya mencoba memancing imajinasi kalian, bahwa kamera yang kalian gunakan berselfi, mempertontonkan kecantikan dan kegagahan kalian, sebenarnya hasil inspirasi dari uji coba yang dilakukan oleh seorang ilmuwan muslim.”
“Beliau bernama Abu al-Hasan bin al-Hasan bin al-Haitsam, dia lebih dikenal dengan panggilan al-Bashri, dan orang Eropa mengenalnya dengan Alhazen. Dalam sejarah Islam beliau lebih dikenal dengan nama Ibnu al-Haitsam. Ibnu al-Haitsam lahir di Basrah pada tahun 354 H/965 M, itulah kenapa disebut al-Bashri karena dilahirkan di Basrah. Ia kemudian hijrah ke Mesir dan wafat di Kairo pada tahun 430 H/1039 M. Di Mesir Ibnu al-Haitsam menulis sebuah buku yang terkenal dengan nama al-Manazhir. Buku inilah yang melambungkan nama Ibnu al-Haitsam dalam ilmu optik.” Kata Baz mulai menjelaskan biografi Ibnu al-Haitsam.
“Sebelum masa Ibnu al-Haitsam –terutama dalam teori Ptolemeus dan Euklides– orang masih percaya bahwa seseorang dapat melihat karena mata memiliki cahaya yang memantul kepada benda. Tetapi kemudian ketika Ibnu al-Haitsam melakukan uji coba, kemudian menyimpulkan bahwa bukan mata yang memiliki cahaya, tetapi sebaliknya, justru cahaya yang dimiliki oleh benda tertentu menjadi penyebab sehingga seseorang dapat melihat benda.” Ketika Baz menjelaskan penemuan Ibnu al-Haitsam itu, giliranku memperlihatkan ilustrasi yang menggambarkan dua bentuk; bentuk pertama mata terlihat mengeluarkan cahaya, bentuk kedua benda terlihat mengirimkan cahaya ke mata sehingga benda itu dapat dilihat.
“Lewat penemuan ini, Ibnu al-Haitsam kemudian menjelaskan bagaimana sebuah benda terlihat besar ketika dekat dan terlihat kecil ketika jauh. Menurut penafsiran Ibnu al-Haitsam, sebuah benda terlihat besar ketika dekat dan terlihat kecil ketika jauh –contoh tangan– karena kerucut cahaya yang keluar dari tangan menjadi semakin kecil, setiap kali tangan itu digerakkan, ke arah yang lebih jauh dari anda. Apabila digerakkan ke arah anda, maka kerucut cahaya yang sampai ke mata anda akan lebih besar.”
Kini gambar yang kuperlihatkan lewat proyektor adalah ilustrasi cahaya yang berbentuk kerucut, yang berasal dari sebuah tangan yang terlihat mengecil, ketika tangan itu menjauh dari mata, dan membesar ketika tangan mendekat.
“Penjelasan Ibnu al-Haitsam tentang kondisi benda berdasarkan jauh dan dekatnya dari mata, menjadi inspirasi lahirnya perspektive drawing. Perspektive drawing atau gambar perspektif adalah gambar yang menggambarkan suatu objek dan pemandangan, sesuai dengan yang dilihat orang yang menyaksikannya. Misalnya, benda yang dekat akan kelihatan besar, dan benda yang jauh akan kelihatan kecil. Caranya tidak dapat dilukiskan dengan dua garis yang sama, melainkan bagian yang dekat luas, dan bagian yang jauh sempit. Seni gambar ini semakin cemerlang dengan adanya warna, sehingga gambar yang dekat warnanya terang dan warna yang jauh tampak remang-remang.”
Seiring dengan penjelasan Baz, Aku lalu memperlihatkan sebuah gambar perspektif yang dibuat oleh Lorenz Gebroti di pintu pembaptisan di Florensa. Selain gambar itu, sebuah tulisan yang memuat pendapat Jacob Bronovisko seorang ilmuwan Amerika yang menyebut; bahwa dalam terjemahan Kitab Al-Manazhir yang tersimpan di Vatikan, terdapat komentar Lorenz Gebroti. Artinya penjelasan Ibnu al-Haitsam dalam Kitab al-Manazhir, tentang perbedaan kondisi benda tergantung jauh dekatnya sebuah benda, menjadi ispirasi bagi Lorenz Gebroti untuk membuat Perspektive Drawing.
“Selain meneliti mata dan bagaimana terjadi penglihatan. Ibnu al-Haitsam juga melakukan penelitian pada lensa.” Kata Baz melanjutkan penjelasannya. “Kaca pembesar dalam istilah Ibnu al-Haitsam dan potensi pembesarannya telah membuka jalan bagi penemuan kaca mata bagi penderita mata rabun...” Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Pard mengacungkan tangan, lalu bertanya. “Baz, kapan Ibnu al-Haitsam menemukan kamera, bukankah di awal tadi kamu bertanya, kami pernah melihat kamera atau tidak?” Mendengar pertanyaan Pard, semua siswa tertawa. Tampaknya sesama siswa mulai bersemangat ingin mengetahui, bagaimana mungkin kamera ditemukan oleh Ibnu al-Haitsam?