5
TIGA SAHABAT
Matahari sore sudah menguning di kaki cakrawala, pertanda malam tidak lama lagi menyelimuti kota. Di rumah, Paman terlihat hilir mudik menatap arah jalan kompleks perumahan. Sore itu kekhawatiran menyelimuti keluarga Paman. Dari arah dapur Bibi berseru memberi ide.
“Paa! Apa mungkin, masih di sekolah kerja tugas? Atau jangan-jangan... ia berkelahi lagi dengan Zam?” Kalimat bibi itu menunjukkan bahwa bibi sudah berada di puncak kekhawatiran, berbagai peristiwa dirunut menjadi rangkaian kekhawatiran yang tidak berpenghujung.
“Tidak mungkin. Ma. Kita tunggu beberapa menit lagi.”
“Bisa saja kan Paa! Lihat tuh si Zam. Sejak saya lahir, saya tidak pernah lihat anak semrawut begitu.”
“Itu namanya berlebihan, Ma!” Kata Paman mengingkari kalimat bibi. “Sekalipun Zam semrawut begitu, seperti tidak pernah tersentuh air sejak lahir, tetap saja Zam memiliki sifat kasih sayang. Kalau pun Zam seperti dugaanmu Ma. Tidak mungkin mereka kembali berkelahi, bukankah kemarin mereka telah berdamai?” Paman mengingatkan istrinya berbagai kemungkinan, kemungkinan yang lebih masuk akal, dibanding kemungkinan yang membuatnya berada di puncak kekhawatiran.
Ketika ketenangangan telah menguasai pikiran bibi, tunggulah ide selanjutnya lebih masuk akal dibanding sebelumnya, “Paa! Bagaimana kalau kita ke rumah Baz? Mungkin mereka mendapat tugas kelompok, sehingga terlambat pulang.”
“Benar Ma! Ayo kita ke sana.”
Paman lalu mengambil kelengkapan bermotor, lalu melaju ke rumah Baz. Ketika mereka tiba di depan rumah, Baz hendak keluar, lalu menyapa Paman dan Bibi.
“Eh... Paman! Mazab ada di rumah Paman? Rencana mau ke sana.” Tanya Baz sedikit heran, kenapa Paman datang ke rumahnya boncengan dengan Bibi. Sementara Paman dan Bibi juga keheranan mendengar kalimat Baz.
“Berarti Mazab tidak ada di sini?” Kekhawatiran Bibi yang tadi sudah meredah kini memuncak lagi.
“Tidak ada Bi.”
“Wah ke mana Mazab Paa!. Kita bisa kena parang, oleh ayahnya Mazab, kalau hilang di kota. Ini bahaya Paa! Tidak terbayang jika ayahnya Mazab datang bawa para...”
“Tenang Ma! Tenang! Dalam suasana begini kita tidak boleh panik.” Kata Paman menenangkan bibi.” Kamu bisa antar kami ke rumah Zam, Baz? Mungkin saja Mazab singgah di sana.” Tanya Paman kepada Baz. Mendengar pertanyaan Paman, sejenak Baz tercenung, dalam benaknya sejak kapan Zam mengajak teman ke rumah, apalagi mengajak Mazab. Sejak kapan Zam sebaik itu? Baz lupa, kini Zam perlahan berubah. Buktinya, bukankah Zam sendiri yang mengajak Baz datang meminta maaf? Permintaan maaf Zam hari itu tulus, sebab merasa bersalah, telah menarik Mazab dalam hukuman Pak Tegas.
“Baz! Apa yang kamu pikirkan?” Tanya Paman kepada Baz yang masih tercenung.
“Tunggu Paman.” Kata Baz mengingat sebuah ide brilian. “Daripada langsung ke rumah Zam, Paman. Lebih baik kita telpon saja dulu.” Baz membuat kesimpulan berdasarkan kebiasaan Zam selama ini, tidak mungkin Mazab ada di sana, sehingga berdasarkan kesimpulan itu, Baz berinisiatif menelpon Zam.
Di seberang sana, Zam terlihat malas mengangkat telpon. Tetapi karena berulang dan terus berulang. Zam terpaksa mengangkat telpon.
“Halo Baz! Ada apa sih kamu ini? Terus-terusan mengganggu hidupku. Tidak cukupkah tugas kelompok percontohan itu?” Suara Zam terdengar meninggi, membuat telinga Baz terasa sakit.
“Aduuuhhh... Zam! Maaf! Bukan maksudku mengganggu. Di sini di depan rumahku, ada Paman dan Bibinya Mazab.”
“Ada apa Paman dan Bibi ada di situ?”
“Itu baru pertanyaannya, Zam. Mereka berdua datang menanyakan Mazab, tetapi di sini tidak ada, jadi Paman berinisiatif memintaku mengantar ke rumahmu, siapa tahu Mazab ada di sana.”
“Yang benar saja! Mana mungkin Mazab ada di sini! Hehehe...” Mendengar tawa Zam, Baz menghindar dari samping Paman dan Bibi, khawatir terdengar tawa Zam yang menjengkelkan. Ketika sudah menjauh, Baz meninggikan suaranya, “Zaamm! Dalam suasana begini kamu masih bercanda? Mungkin saja Mazab hilang atau apa kek. Yang pasti Mazab sekarang dalam kondisi menderita!” Ketika Baz mengucapkan kalimat penekanan itu, ia berusaha serendah mungkin, agar tidak terdengar oleh Paman dan Bibi, sehingga bagi Zam terdengar bercanda saja.