6
ANAK BARU
Sudah sebulan setelah pengeroyokan yang dilakukan War dan kawanannya. Persahabatan kami lewat metode yang diterapkan oleh Pak Tegas juga semakin membaik. Sesama siswa yang dahulu tidak akrab kini mulai akrab, saling berbagi baik suka maupun duka. Sedikit demi sedikit geng-geng di sekolah sudah mulai berkurang, bahkan boleh dikatakan sudah menghilang, setelah menjamur tiga tahun terakhir.
Itulah tujuan metode Pak Tegas. Itupula tujuannya, kenapa Pak Tegas dipindah tugaskan di Sekolah Menengah Mutiara Bangsa, untuk mengurangi geng-geng di sekolah, maka pihak sekolah memohon ke sekolah tempat Pak Tegas mengajar, setelah ramai diberitakan keanehan metode mengajar Pak Tegas satu tahun terakhir. Dalam berita itu disebutkan keberhasilan Pak Tegas, mengurangi geng-geng di sekolah berkat metode mengajarnya yang aneh.
Lepas dari keberhasilan Pak Tegas di sekolah kami, Ternyata masih ada yang belum berhasil berubah seratus porsen. Dialah Zam sang pemalas. Sikap malas Zam ke sekolah, jika bukan Pak Tegas yang mengajar, masih belum mengalami perubahan. Tetapi para guru sudah memahami dengan baik watak Zam, sebagai siswa yang misterius. Tadinya para guru menyangka nilai tinggi Zam sebagai hasil menyontek atau membawa catatan ketika ujian, tetapi ternyata sekalipun digeledah sebelum ujian, bahkan dikawal ketika ujian, Zam tetap mencetak nilai tinggi. Walau nilai tinggi itu tidak menyamai nilai yang didapat Baz, tetapi nilai itu lebih dari cukup untuk lulus dalam setiap ujian.
Berdasarkan pengamatan para guru, Zam mencetak nilai tinggi karena memang menjawab soal dengan baik dan benar, mereka pun mengetahui bahwa sekalipun di rumah, Zam tetap belajar dengan giat, lewat buku-buku yang dibelinya. Informasi itu akurat, karena secara diam-diam, para guru sendiri yang mengamatinya dari rumah Zam.
Itulah dalih sehingga kehidupan Zam di sekolah aman-aman saja hingga sekarang. Tetapi sebagaimana akibat selalu ada sebabnya, maka tentu kemalasan Zam tinggal menunggu pemantik untuk menaati aturan sekolah. Baik Zam bisa menjawab soal dengan baik dan benar, atau pun tidak bisa menjawab dengan benar, Zam tetap datang ke kelas mengikuti proses belajar mengajar sebagaimana lazimnya di sekolah. Ajaran itu selalu didengunkan Pak Tegas di kelas. Hanya saja hidayah kerajinan masih menjauh dari hati Zam.
Hari ini sekolah kami kedatangan siswi baru, pindahan dari kota provinsi, ikut orang tuanya yang bertugas di kota kabupaten. Informasi itu sayup terdengar dari pembicaraan sesama siswa pagi ini. Kami belum mengetahui bagaimana rupa wajahnya. Masih berupa gosip pagi khas sesama siswa. Kudengar informasi itu datang dari seorang guru, ketika seorang siswa dipanggil ke kantor karena sesuatu keperluan. Siswa inilah yang menghidangkan menu gosip pagi.
“Anak-anakku sekalian. Hari ini kita kedatangan sahabat baru,” Begitulah Pak Sya’irun Bagus, seorang guru bahasa Indonesia memulai kalimatnya pagi itu, “Pindahan dari salah satu sekolah di kota provinsi, saya harap kalian berlaku baik terhadap sahabat baru kalian ini. Jangan seperti orang kehilahan kesadaran, ketika melihat kemilau emas, berkilau dihadapannya, jatuh tak sadarkan diri.” Demikian peringatan Pak Sya’irun Bagus.
Mendengar peringatan Pak Sya’irun Bagus, ada sesuatu yang mengejutkan bagi murid baru ini, sesuatu yang berhubungan dengan gemerlap dunia, yang mungkin membuat sebagian siswa kehilangan kesadarannya.
“Kepada Mawar, silahkan masuk.” Kalimat Pak Sya’irun Bagus, meminta siswi baru itu masuk kelas, sempat mengagetkan sebagian siswa.
“Silahkan perkenalkan diri kepada teman-temanmu.” Pak Sya’irun Bagus, meminta Mawar memperkenalkan diri, dihadapan kami.
Mawar memulai kalimatnya dengan salam, “Assalamu alaikum. Hai teman-teman. Apa kabar?”
Sesama siswa serentak menjawab, “Waalaikumussalam. Kabar kami baik....sebaik dirimu” Kata terakhir itu ditambahi sendiri, oleh sesama siswa dengan suara sayu tak terdengar. Sehingga suara itu hanya terdengar oleh mereka saja. Suara sayu yang tak terdengar itu, ditingkahi tawa kecil. Hampir-hampir tawa kecil itu, terdengar seperti cericik anak ayam, yang baru menetas.
“Perkenalkan namaku Mawar. Sebenarnya saya lahir di kota ini, tetapi ketika berumur lima tahun, tepatnya satu tahun sebelum masuk SD, Ayahku dipindah tugaskan ke kota Provinsi, jadi kami sekeluarga pindah ke kota provinsi.” Mendengar kalimat Mawar, sesama siswa ber-ohh hampir bersamaan. Mereka terlihat cengar-cengir memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Mawar.
“Sekarang dengan kondisi yang sama, Ayahku dipindah tugaskan kembali ke kota ini, jadi kami sekeluarga pulang kampung, sekalipun kampung yang saya maksud adalah kota ini, tetapi bagi kami sekeluarga inilah kampung halaman kami yang terbaik. Demikian sekelumit tentangku, semoga teman-teman menerimaku di sekolah ini sebagai sahabat dan saudara. Waalaikumussalam.”
Mawar melangkah menuju bangku yang telah disiapkan. Ia duduk bersebelahan dengan Ainun. Setelah memperkenalkan diri. Seperti biasa Pak Sya’irun Bagus melanjutkan pelajaran bahasa Indonesia.
Tetapi bukan pelajaran yang menjadi konsentrasi sebagian Siswa, di antara mereka terdengar bisik-bisik, “Apa kubilang, Brar!”
“Memangnya apa yang kamu bilang, Ndang?”
“Ah.. kamu Brar kehilangan ingatan, yah?”
“Kamu yang kehilangan ingatan, Ndang. Orang tidak pernah dengar apapun yang kamu bilang. Mungkin seperti biasa, kamu baru mau bilang, terus kamu menuduhku tidak ingat apapun yang kamu bilang.”
“Ah iya, Brar. Saya lupa. Sebenarnya kalimat ini masih dalam batok kepalaku, belum keluar. Hehehe...”