SI BURUNG PENYENDIRI

Ahmad Karim
Chapter #7

Pertemuan Pertama #7

7

PERTEMUAN PERTAMA

Ketika mata pelajaran bahasa Indonesia telah usai, sesama siswa berhamburan keluar kelas, berbagai keperluan terbayang dalam kepalanya. Ada yang beranjak ke kanting. Ada yang berjalan menuju perpustakaan. Ada pula yang hanya menghabiskan waktu ngobrol di bawah rerimbun pohon mangga. Kalian pasti sudah mengerti alur pembicaraan mereka pagi itu, tentu tidak jauh-jauh dari Mawar si murid baru.

Mawar yang menjadi pusat pembicaraan pagi itu masih di dalam kelas. Ngobrol dengan beberapa siswi yang terlihat sok kenal sok dekat. Persisnya, mereka sedang mewawancarai Mawar yang katanya datang dari kota provinsi. Berbagai pertanyaan samar terdengar. Tentang bagaimana kehidupan di kota besar. Apakah seramai dengan kota kabupaten? Atau malah lebih ramai? Tentang bagaimana kondisi sekolah di kota besar. Apakah semua muridnya cerdas? Atau ada juga yang sebodoh mereka, seraya menjadikan beberapa contoh siswa yang menurut penilaiannya, masuk kategori bodoh, lalu diikuti tawa cekikikan. Pagi itu Mawar menjadi pusat perhatian, tampil sebagaimana perumpamaan dalam puisi Yud, Seperti bunga mawar menjadi pusat perhatian!

Sementara pagi itu, Baz terlihat aneh, sejak Mawar melangkahkan kaki masuk kelas, ia terlihat sering curi pandang, untung tidak terdeteksi oleh Pak Sya’irun Bagus. Jika terdeteksi sering curi pandang, bisa saja Pak Sya’irun Bagus mewawancarai sepanjang waktu, sebab kebiasaan itu selama ini tidak pernah terjadi dalam kamus Baz, Baz dikenal sebagai anak yang hanya fokus pada pelajaran, tiada yang lain.

Tetapi kedatangan Mawar pagi ini merubah sedikit kebiasaannya. Baru kuketahui kemudian, hal itu karena ada sejemput kenangan yang melintas begitu saja, ketika Mawar memperkenalkan diri. Mungkin karena tidak tahan oleh rasa penasaran, oleh desakan pertanyaan dalam hatinya, sehingga Baz memberanikan diri mendekat kerumunan wawancara gratis beberapa siswi.

“Boleh ikutan mewawancarai?” Kata Baz menatap wajah Mawar. Mendengar pertanyaan Baz, beberapa siswi mendorong Baz, tidak membiarkan mengganggu kekhusukannya mewawancarai. Tetapi Baz tidak menyerah, justru langsung melayangkan pertanyaan sekalipun belum dipersilahkan.

“Katamu tadi, kamu lahir di kota ini? Kok kedengarannya tidak asing?” Tanya Baz memperbaiki letak duduknya. Beberapa siswi keheranan melihat reaksi Baz yang tidak seperti biasa.

“Maksudmu?” Tanya Mawar keheranan.

“Kalau tidak salah tebak, bukankah kamu Mawar, anaknya Paman Ahkam?”

“Benar,” Kata Mawar berbinar-binar matanya, karena sepertinya mengingat beberapa hal di masa lalu, masa kecilnya. “Berarti kamu Baz, anaknya Paman Ikhwan kan? Wah, tidak menyangka kita bertemu di sini.”

“Jadi kalian berdua sudah kenal?” Tanya Magfirah keheranan.

“Benar, Mage. Saya dengan Mawar tetangga ketika mereka sekeluarga masih di kota ini.”

“Ayahnya Baz, Paman Ikhwan bersahabat dengan Ayahku. Jadi kami sering bermain bersama sewaktu masih kanak-kanak.”

“Kalau begitu kamu dengan Baz, tetangga jadi idola dong.” Jun berceletuk membuat mereka tertawa renyah. Tetapi bagi Baz ada kenangan yang tidak terlupakan dari tawa renyah itu. Kenangan sepuluh tahun lalu. Kenangan ketika mereka berdua masih kanak-kanak. Kenangan yang susah terlupa dalam benak Baz. Kini rekaman masa lalu terputar kembali seperti deretan potongan gambar sebuah film yang penuh kebahagiaan.

“Jadi sekarang tinggal di mana, Mawar?” Pertanyaan Baz membuyarkan tawa mereka. Beberapa siswi menatapnya curiga. Baz bingung melihat ekspresi beberapa siswi. Dalam ekspresi kebingungan di wajah Baz, tergambar kalimat, salahkah jika bertanya tinggal di mana? Sementara ekspresi beberapa siswi, juga tergambar kalimat, sekalipun pernah tetanggaan jangan langsung nyerocos tanya tempat tinggal, nanti dikira mau macam-macam. Tetapi ekspresi itu buyar begitu Mawar menjawab pertanyaan Baz.

“Di Jl. Kenari. Kamu masih di tempat yang dulu? Kapan-kapan bisa ke sana? Rindu suasana kompleks itu.” Mendengar jawaban Mawar, wajahnya berubah semringah, kegembiraan jelas tergambar di wajahnya, membuat beberapa siswi sebal melihat tampan Baz yang semringah. Tampannya tidak menggambarkan Baz yang selama ini mereka kenal. Kini Baz terlihat lebih aktif melebihi keaktifannya ketika berhadapan dengan buku. Pada intinya, Tampan Baz seperti kata peribahasa –bungkuk kail hendak mengena – terkesan menyimpan tipu muslihat untuk mencari keuntungan. Itulah ekspresi yang ditangkap oleh beberapa siswi pagi itu. Tak ada yang tahu, peristiwa hari itu akan menjadi titik balik seorang Baz versi 4.0, atau bahkan versi pengembangannya.

“Kamu bisa berkunjung, Mawar. Ibu pasti kaget melihatmu sudah remaja.”

“Salam buat tante ya Baz?”

Lihat selengkapnya