SI BURUNG PENYENDIRI

Ahmad Karim
Chapter #8

Jatuh Cinta #8

8

JATUH CINTA

Malam itu langit cerah, gemintang seperti sedang berdiskusi dengan penghuni bumi, lautan lampu berkilauan menerangi kota. Orang-orang berlalu-lalang mengisi setiap senti sudut kota. Kegembiraan malam itu terlihat dari cerahnya langit, tetapi di sebuah kamar rumah bertingkat di Jl. Kenari, kegembiraan malam itu seperti terkekang. Di dalam kamar itu terlihat seorang gadis remaja menatap langit-langit kamar. Sesekali kembali duduk di bangku belajarnya. Sesekali mengedarkan pandangan ke seisi jalan. Di jalan dua atau tiga becak sedang berlalu. Diiringi seorang gadis dewasa tersenyum gembira di atas sebuah motor yang melaju. Satu atau dua lelaki berjalan menuju ke suatu tempat. Jelas sekali dari wajah mereka tergambar kegembiraan.

Kegembiraan gadis remaja itu terkekang, karena sedang menimbang-nimbang keputusan yang sungguh berat, keputusan yang semestinya belum sanggup dipikul oleh anak seusianya, walau kini sedang ngetren dan menjadi gaya hidup anak remaja. Tetapi apalah arti sebuah gaya hidup jika hanya merisaukan hati saja. Membuat kegembiraan dan kebahagiaan sebagai hak setiap manusia terkekang? Itulah dinamika anak seusianya, seperti meniti sebatang bambu yang melintang di atas sungai besar, tetap saja hendak menyeberangi demi sekuntum bunga yang indah, sementara di permukaan sungai itu hilir mudik buaya-buaya kelaparan.

Gadis remaja itu bernama Mawar, pujaan hati setiap siswa di Sekolah Menengah Pertama Mutiara Bangsa, seorang anak yang menjadi pusat perhatian sejak melangkahkan kedua kaki di sekolah itu. Terbukti dua siswa yang memberanikan diri mencoba mendekatinya. Mencoba merayu hatinya, agar tertambat dan terikat dalam satu ikatan yang mendebarkan jantung. Malam itu sebuah keputusan mesti diputuskan. Tetapi sudah berjam-jam matanya hanya menatap langit-langit kamar. Sementara tangannya hanya bisa memiling-miling sebuah pena. Ah sepertinya berat sekali keputusan yang hendak diputuskannya.

Kedua siswa itu bernama Baz dan Zam.

Baz sudah lama dikenalnya, mereka berkenalan ketika masih sangat kecil, bermain bersama, bergandengan tangan menuju sekolah. Tetapi itu terjadi ketika keduanya masih sangat kecil. Hubungan keduanya masih pada batas persahabatan saja.

Sementara Zam berkenalan dengannya ketika mereka sudah remaja. Walau masih dekat waktu perkenalan mereka. Pekenalannya dengan Zam telah melahirkan benih perasaan yang aneh dalam hatinya, seperti hembusan angin yang menyejukkan hati. Perasaan aneh yang berhembus seperti hembusan angin di pagi hari, selalu saja mereka rasakan setiap kali pandangan mereka bertemu.

Zam adalah seorang anak yang mudah bergaul, pergaulannya yang baik membuatnya mudah akrab dengan siapa saja, termasuk dirinya yang masih baru di sekolah ini. Sedikit demi sedikit hatinya mulai tertambat. Wajah Zam mulai mewarnai pikirannya. Walau terlihat semrawut saat pertama kali bertemu, tetapi setiap hari, ada saja perubahan yang tampak dari tingkah lakunya.

Lain halnya dengan Baz, perasaannya masih menganggap Baz, sebagai sahabat masa kecil yang kembali bertemu, setelah sepuluh tahun berpisah. Memang ada rasa rindu bergelayutan dalam hatinya, setiap kali mengingat kompleks tempat mereka berdua menghabiskan sebagian masa kecilnya. Tetapi sekadar rindu kepada sahabatnya.

Terakhir ketika keduanya kembali bertemu dan saling mengenal, perasaan rindu yang selama ini bergelayutan dalam hatinya, seperti berdesir lembut, mengisi kekosongan hatinya selama sepuluh tahun terakhir, kembali ia merasakan semangat yang baru, sebagaimana semangat yang ia rasakan ketika masih kecil dulu.

Ketika perasaan itu ia bandingkan dengan apa yang dirasakan antara ia dengan Zam, rasa-rasanya memiliki nuansa yang berbeda, kepada Zam ia tidak merasakan semangat baru, sebagaimana ia rasakan ketika masih kecil dulu, tetapi selalu ada dorongan untuk selalu bersama dengannya, berlama-lama duduk, bercerita dan bersendagurau, apalagi Zam seperti sedang melingkupi jiwanya yang masih lugu.

Bersama Zam ia seperti penguasa jagad, disekelilingnya orang-orang seperti tanpa jiwa, tak bergerak seperti patung. Bersama Zam ia seperti tidak peduli pada sekeliling, tidak peduli menjadi pusat perhatian. Orang-orang itu hanya seperti taman bunga yang melengkapi keindahan yang dirasakannya. Bersama Zam ia merasa percaya diri, berekspresi sesuka hati. Keindahan dan kebahagian menjadi pembenaran dalam setiap tindakan. Sehingga tidak peduli di rumah, di warung atau di angkot, dimanapun ia menginginkan untuk bernyanyi, senandung lagu selalu saja bertutur dari mulutnya, walau orang disekitarnya, merasa terganggu dengan suaranya yang tidak semerdu penyanyi profesional.

Lihat selengkapnya