10
KONFLIK
Bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Mutiara Bangsa adalah sebuah harapan. Berbagai pertimbangan bagi setiap siswa untuk menjadikan sekolah ini sebagai harapan. Ada yang menjadikan harapan karena tata letak tamannya yang indah dan teduh. Ada pula karena perpustakaannya yang menyimpan jutaan koleksi. Ada pula karena solidaritas sesama siswa di sekolah ini. Ada pula dari sudut kesederhanaan para guru dalam menggunakan metode mengajar.
Dan berbagai pertimbangan lainnya, yang jika dikumpulkan, kalimat harapan itu akan membentuk sebuah buku. Tentu setiap pertimbangan berdasarkan sudut pandang setiap siswa. Yang pasti setiap pertimbangan itu, merupakan ekspresi kesenangan dan kebahagiaan menuntut ilmu di sekolah ini.
Tetapi jika suasana sekolah yang menyenangkan, berubah menjadi serasa penjara, tentu merupakan suatu hal yang menyesakkan. Hendak lari tidak berdaya, bertahan berendam lumpur. Begitulah yang dirasakan oleh Baz. Bahkan pernah terbesit kalimatnya untuk pindah sekolah. Sayangnya, kedua orang tuanya melarang pindah. “Jika itu semua karena Mawar, kamu tinggal beberapa tahun lagi.” Kata orang tua Baz tempo hari, ketika Baz bermaksud hendak pindah. Kondisi Baz di sekolah ini seperti kata peribahasa, tersesak padang ke rimba. Tidak berdaya lagi menanggung malu.
Hari itu ketika pelajaran usai, Baz mendekat duduk di sampingku, berbagai perasaan yang terpendam, berurai mengisahkan kesedihan dan kekecewaannya. Ketika kutenangkan dengan mengisahkan kepadanya, bahwa orang yang sekarang mengecewakannya, adalah dahulu seorang sahabat yang terbaik, jadi tidak perlu larut dalam kesedihan dan kekecewaan, yang berlalu biarlah berlalu. Tetapi dasar orang yang sudah dimabuk kesedihan, dilamun kekecewaan, sehingga bukannya berterima kasih sudah diingatkan, malah berlagak sok berpengalaman dalam dunia percintaan. “Tahu apalah kamu soal percintaan, Mazab?”
“Tidak banyak tahu, Baz. Tetapi saya banyak tahu tentang persahabatan kalian bertiga.”
“Kalau sahabat sudah menjadi musuh yang nyata. Pengetahuanmu yang banyak itu, sudah tidak berguna lagi, Mazab.”
Nurani Baz kini terkatup, mungkin butuh waktu yang lama untuk kembali ke jalan yang benar, untuk sementara waktu ia perlu pembiaran, agar segala kesusahan dan kekecewaan terobati oleh waktu yang berlalu.
Pada kondisi ini, Zam dan Mawar mendekat kepada kami berdua duduk. Sebagai orang diluar pagar masalah. Aku tahu kedatangan mereka berdua tentu dengan niat yang baik, walau waktu dan tempatnya yang kurang tepat. Oleh sebab itu, ketika Baz melihat mereka datang berdua, ia lalu pergi menjauh.
“Kenapa kamu menjauh, Baz?”
Tanpa menoleh, ia terus menjauh tidak peduli pertanyaan Zam.
“Kamu juga, Mazab. Tidak mau menahan Baz.”
“Kalau mau meminta maaf Zam, saya sarankan nanti saja, suasana hati Baz sedang berkelut.”
“Sok tahu kamu, Mazab!”
“Silahkan dibuktikan sendiri kalau tidak percaya.”
Mendengar kalimatku, Mawar meminta Zam mengurungkan niatnya, membiarkan Baz pada kondisinya sekarang, biarkan waktu yang melunakkan hatinya yang sekarang membatu. Tetapi tampaknya Zam tidak peduli peringatan Mawar. Ia terus saja berjalan mendekat, diikuti Mawar di belakangnya.
Keinginan meminta maaf, bercampur dengan rasa jengkel, karena menjauh, membuat Zam menahan bahu Baz. Dengan segenap tenaga, Baz tetap hendak melangkah, tetapi karena cengkeraman tangan Zam terlampau erat, sehingga ia terpaksa membalikkan badan.