Si Cadar Hitam

Almayna
Chapter #2

Kita Teman?

Warna jingga cerah membias sempurna di langit kota saat baju terakhirku selesai dimasukkan ke dalam koper kedua. Kulirik jam dinding, sudah hampir Magrib dan masih tersisa beberapa buku yang belum dimasukkan dalam tas. Apa yang aku lakukan sampai semua barang-barang--yang membuat kamar bak pesawat pecah--masih ada di mana-mana?

Oh, tidak. Ibu pasti akan mengomel panjang layaknya khutbah Jum'at jika nanti beliau masuk untuk mengambil beberapa barang milikku ke dalam mobil. Padahal tanganku sudah cukup pegal dari tadi mengemas semua barang yang ku perlukan selama tinggal di rumah baru nanti.

Ralat. Sebenarnya, aku tidak sedang berkemas untuk pindah rumah. Akan tetapi, semua barang-barang ini akan dibawa ke tempat tinggal baruku selama beberapa hari, bulan, bahkan mungkin sampai tiga tahun ke depan. Suatu tempat yang akan aku temui banyak hal baru di sana. Sebuah hunian yang seringkali kusebut dengan nama pondok pesantren.

Benar. Mulai malam ini, aku akan diantar ke asrama. Lebih jelasnya, aku akan menjadi seorang santri di salah satu pesantren cukup terkenal di daerahku. Padahal, impianku setelah lulus sekolah menengah pertama adalah masuk sekolah negeri, bukan pesantren apalagi harus nyantri. Namun sayang, keinginanku hanyalah bagian kecil dari sekian rencana orang tuaku.

Apalagi keluargaku yang notabenenya mayoritas lulusan pesantren. Seolah  menjadi tradisi dalam keluarga Ayyubi, bahwa setiap anggota keluarga minimal harus mengenal dunia pesantren. Ya, seperti diriku saat ini. Jadi, keinginan untuk bisa masuk sekolah negeri terbilang cukup kecil.

Sebenarnya, aku bisa saja mendaftar mandiri di sekolah impianku, tapi yang membiayai masih orang tua. Jadinya, hatiku kurang sreg jika tetap kekeuh pada harapan yang berseberangan. Juga, demi mewujudkan rasa bakti pada mereka yang selama ini menyayangi sepenuh hati, aku rela membuang keinginan tadi dan mengutamakan permintaan mereka untuk sekolah di pesantren pilihan ini.

Jika dipikir kembali, rasanya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan semua keputusan yang sudah dibuat ini. Menjadi seorang santri di pondok pesantren sepertinya juga bukan sesuatu yang mengerikan atau membosankan bukan? Ya, walaupun ini adalah kali pertama aku tinggal berjauhan dengan orang tua, pun dengan pengalaman yang baru, aku sebenarnya tidak terlalu tahu lebih dalam bagaimana kehidupan seorang santri di sana.

Berdasarkan cerita dari sepupuku, pamanku, atau keluarga lain yang pernah menjadi santri dulu, kehidupan pesantren sangatlah seru dan menyenangkan, katanya. Dijamin tidak akan merasakan kesepian karena orang-orang yang tinggal di asrama bisa mencapai puluhan bahkan ratusan.

Ketika mendengar informasi itu, yang kupikirkan bukanlah ramainya, tapi bagaimana bisa orang se-introvert diriku ini bisa berinteraksi langsung dengan orang sebanyak itu? Aku juga pernah mendengar, dalam satu kamar, bisa dihuni oleh lima sampai sepuluh orang. Lalu pertanyaanku, bagaimana cara mereka tidur? Apakah tindih-tindihan? Desak-desakan? Atau bagaimana?

Jujur saja, mengingat hal-hal seperti itu sempat membuat semangatku untuk tinggal di pondok pesantren menciut, bahkan nyaris lenyap. Jika saja ibu dan ayah tidak menghipnotisku dengan petuah-petuah mutiaranya, mungkin semangat itu tidak akan pernah tumbuh lagi.

"Iza? Sudah selesai belum?"

Suara ibu berhasil membuat kesadaranku yang sempat berhamburan kemana-mana itu kembali. Walaupun mungkin langkah beliau masih di tangga terakhir, tapi volume suara yang dimiliki beliau sebenarnya bisa mengalahkan toa masjid. Terdengar sampai kamar mandiku malah.

"Zizah?"

Suara khas ibu kembali terdengar, kini diiringi dengan ketukan pintu. Padahal jika ibu mau, beliau bisa langsung masuk kamar tanpa menunggu sahutanku. Karena biasanya, pintu kamar jarang sekali ditutup, alias pemiliknya suka lupa menguncinya.

"Masuk saja, Bu. Iza belum selesai beres-beres," kataku akhirnya. Daripada ibu marah-marah karena aku tidak menyahut, kan? Ya, meski sekarang aku bisa memprediksi kalau beliau akan mengomel setelah melihat kamarku.

"Astagfirullah, Iza! Kenapa barangnya masih berceceran?"

Tuh, kan. Firasatku benar. Jika sudah seperti ini, maka harus mengeluarkan jurus andalan. "Maklum, Bu. Iza, kan, cuma punya dua tangan. Sementara barang-barangnya ada puluhan."

"Kenapa harus bawa sebanyak ini?" Ibu kembali menuai protes. Bukankah semalam beliau bilang kalau aku harus membawa barang-barang yang dibutuhkan?

"Kan, mau tinggal lama, Bu."

"Iya, tapi nggak semua harus diangkut hari ini, Nak. Ibu, kan, bisa bawain pas jenguk nanti."

Kenapa ibu tidak bilang dari awal? Mana ku tahu kalau barang-barangku bisa dibawa secara berkala ke asrama. Lalu sekarang? Semua sudah terlanjur kumasukkan dalam koper.

Lihat selengkapnya