Si Cadar Hitam

Almayna
Chapter #3

Kamar Mandi Pojok

Suhu di sekitar kami terasa semakin dingin saja, mungkin karena malam yang berjalan semakin larut. Jika melihat jarum jam kecil di pergelangan tangan, kukira memang sudah cukup lama aku dan teman baruku itu duduk di sana walaupun tidak banyak hal yang kami obrolkan. Maklum, mungkin karena sama-sama baru kenal dan sama-sama introvert, jadi lumayan susah bagi kami untuk mencari topik pembicaraan yang menyenangkan.

"Sudah hampir jam sepuluh, kamu masih mau di sini?" tanyaku setelah bangkit dari tempat tersebut. Kini, mataku hanya tertuju pada netra coklat Laila yang justru mengarah ke depan.

Kontan, karena penasaran, aku juga ikut melihat sesuatu yang sejak tadi menarik perhatian gadis bercadar itu. Sayangnya, tidak ada hal menarik yang kutemukan di depan sana. Hanya jalan setapak yang memisahkan kawasan asrama dengan kantin. Jalan itu pun sudah terlihat sepi karena seluruh santri pasti sudah berada di kamarnya masing-masing. Lalu, apa yang sejak tadi dilihat gadis itu?

"Em, Laila?" Aku sengaja memanggil namanya agar dia menoleh dan menatap ke arahku. Lalu setelah itu, akan ku ajak dia segera untuk kembali ke asrama sebelum beberapa pengurus datang mencari. Untung-untung kami tidak mendapat teguran di hari pertama gara-gara keluar asrama malam-malam. Bisa langsung terkenal sebelum memperkenalkan diri.

Sepersekian detik kutunggu tolehan kepalanya, tapi sampai satu menit lamanya, dia masih saja pada posisinya. "Apa dia melamun?" gumamku pelan agar dia tidak tersinggung. Namun setelahnya, dia tiba-tiba bangun dan menarik tanganku. Tingkahnya itu sangat berhasil membuatku terkejut.

"Ayo pergi, sebelum kita didatangi yang lain," katanya menyipitkan mata. Aku berharap kelopak matanya yang kini berbentuk bulat sabit itu adalah pertanda dia sedang tersenyum.

"A-ayo." Aku segera membalas dengan senyum sebaik mungkin. Walau dalam hati, ada satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Siapa yang dimaksud 'yang lain' tadi? Apa itu ustadzah? Semoga saja, iya.

***

Ternyata, pikiranku tentang asrama yang sudah sepi salah total. Nyatanya, ketika sampai gerbang kecil yang bertuliskan 'Asrama Fatimah' di papan bagian kanan sebelum pintu masuk, suasana asrama masih sama seperti saat aku mengantar keluarga pulang dan mengobrol dengan Laila. Mungkin karena beberapa santri baru masih ada yang bersama keluarganya, atau pengurus yang seterusnya masih menunggu santri lain yang belum datang, makanya sekitar asrama masih cukup ramai. Namun, bukankah seharusnya gerbang tetap ditutup dan santri harus sudah berada di kamar saat jam sepuluh ke atas? Ah, mungkin sistem di pesantren ini sedikit berbeda dengan sistem pesantren lain yang kudengar dari cerita teman-teman.

Aku dan Laila terus saja mengayunkan kaki, melewati kamar demi kamar lain yang pintunya masih terbuka lebar. Saking lebarnya, aku dapat melihat wajah-wajah santri yang sedang mengobrol seru di dalam. Beberapa orang yang menangkap tatapan mataku spontan menyapa ketika netraku sempat tertuju padanya. Lalu, aku sebagai 'orang baru' di sini hanya bisa membalasnya dengan senyum.

Jika saja kamarku tidak berada di lantai dua, pasti rasa canggung dan tidak enak ketika melewati kamar-kamar senior di lantai bawah. Beruntung, aku bersama Laila saat ini. Jadi, perasaan-perasaan tidak enak itu sedikit berkurang. Namun, yang masih menjadi sebuah keheranan dalam benakku adalah, gadis yang berjalan di sampingku ini sama sekali tidak membalas ataupun merespon sapaan-sapaan yang ditujukan padanya. Apa mungkin dia lebih introvert dan pendiam daripada aku? Atau, suasana hatinya belum membaik karena masih merindukan keluarga di rumah.

"Zizah!"

Panggilan tiba-tiba itu membuat langkahku berhenti spontan. Badanku yang berbalik dengan segera lantas menangkap sosok Kak Arum yang hampir tiba di tempat kami berhenti.

"Kalian baru kembali?" tanyanya, mungkin mengingat perpisahan kami tadi.

Aku tentu mengangguk dengan cepat. "Iya, Kak. Kami baru balik dari lapangan dan mau ke kamar."

"Oh, ya sudah. Segera kembali ke kamar masing-masing, ya. Soalnya setelah ini, ketua kamar kalian akan mengabsen santri yang baru datang, sekaligus memperkenalkan beberapa pengurus harian sebelum kalian istirahat. Besok pagi, akan ada sosialisasi mengenai lingkungan asrama di aula putri. Jadi, jangan sampai terlambat bangun, ya."

Aku kembali mengangguk. Beruntung, pengurus yang kutemui adalah Kak Arum. Jadi, aku tidak perlu mempertahankan senyum ala-ala ini terlalu lama. Setelah merasa cukup dengan pembicaraan tadi, kak Arum lebih dulu pamit pergi. Tepat saat itu, aku dan Laila juga melanjutkan perjalanan menaiki tangga menuju lantai dua.

Kamar bertuliskan angka lima belas terlihat semakin dekat. Begitu juga dengan suara-suara penghuninya yang terdengar semakin jelas. Sekitar sepuluh langkah lagi, aku akan sampai di depan pintu dan bertegur sapa dengan teman-teman kamar yang lain. Karena itu, sejak menginjak anak tangga pertama, aku sudah menyiapkan energi semaksimal mungkin untuk bertemu dengan orang-orang baru.

"Calm down, Zah. Ini baru hari pertama. Kamu harus memberikan first impression yang terbaik," gumamku menyemangati diri. Tidak terhitung satu detik setelah itu, Laila tiba-tiba berhenti.

"Duluan saja. Aku mau ke kamar mandi," katanya menjelaskan sebelum aku memberikan pertanyaan.

"Oh, iya. Silahkan." Aku membalasnya dengan senyum, walaupun dia segera  meninggalkanku tanpa respon apa-apa.

Karena Laila sudah pergi, sementara kamarku sudah berada di depan mata, jadi aku segera melangkah masuk usai mengucap salam yang hanya terdengar oleh telingaku sendiri. Namun, tak kusangka jika salamku tadi akan dibalas oleh semua orang yang ada di sana.

Lihat selengkapnya