Si Cadar Hitam

Almayna
Chapter #4

Cerita Laila

"Azizah?"

Astaga! Apa aku melamun lagi sampai tidak sadar jika kak Arum masih setia menunggu responku? Jika saja dia tidak menepuk bagian pundak, mungkin aku akan tetap diam dan membuat rasa bersalahku kemudian semakin membesar. Ayo, Zizah. Ini belum satu hari kamu di sini. Jangan buat orang lain kesal dengan tingkahmu di hari pertama ini.

"Maaf, Kak. Tadi aku sedang memikirkan sesuatu."

Oke, kukira itu jawaban yang bisa kuberikan saat ini. Sebenarnya, aku tidak sepenuhnya berbohong dengan pernyataan itu. Otakku memang sedang memikirkan hal-hal janggal yang sampai sekarang belum ketemu jawabannya.

"Memangnya kamu mau ngapain ke sana?" Kak Arum kembali mengulang pertanyaan yang sama.

"Temanku tadi ke kamar mandi, Kak, tapi sampai sekarang belum kembali. Jadi, aku mau susul."

Perempuan cantik itu terlihat menghela napas panjang. "Mungkin kamar mandi yang di asrama, Zah. Bukan dekat sumur."

Iya, benar. Mungkin kamar mandi itu yang didatangi Laila, bukan kamar mandi yang dimaksud sosok yang kutemui tadi. Lagipula, mana ada orang yang berani ke dekat sumur di saat sepi dan dengan penerangan minim seperti ini?

"Sepertinya, aku keliru, Kak. Terima kasih sudah memberitahu," ucapku kemudian.

"Sama-sama. Sekarang balik ke kamar kamu, gih."

Tanpa penolakan sedikit pun, kakiku segera menarik diri untuk meninggalkan tempat itu bersama Kak Arum. Meski sekarang, masih ada tanda tanya besar di kepala tentang sosok yang kutemui tadi. Jika dia memang berniat untuk mengerjaiku dengan cara memberikan informasi palsu, aku akan memaafkannya. Tapi yang masih menjadi sesuatu yang membingungkan, bagaimana dia bisa tahu aku sedang mencari teman bernama Laila?

***

Pagi belum benar-benar menjelang saat suara gedoran pintu diiringi panggilan berulang-ulang itu menembus gendang telinga. Aku yang orangnya memang kagetan tentu langsung bangkit dari tidur. Kulihat sekelilingku yang masih gelap. Namun, cahaya lampu luar berhasil membantuku melihat bayangan teman-teman masih terlelap di tempat tidurnya.

Saat pintu kamar kami dibuka, barulah aku bisa melihat posisi tidur Caca, Wawa, Septy, dan yang lainnya dengan jelas. Rasanya, tawaku ingin pecah saat itu juga, tapi aku tidak mungkin setega itu menertawakan teman-teman kamar. Mungkin, jika aku di posisi mereka, gaya tidurku lebih aneh daripada yang lainnya.

"Hei, kamu yang sudah bangun."

Sosok yang berdiri di depan pintu itu terlihat menunjuk ke arahku. Aku tahu dia adalah kak Nova, ketua kamar kami. Semalam, dia sempat memperkenalkan diri dan memberitahu kami sedikit peraturan selama tinggal di asrama. Pasti saat ini, dia ingin aku membangunkan teman-teman yang lain karena harus ikut sholat tahajud berjamaah di masjid. Itu adalah salah satu aturan dan kewajiban yang harus ditaati setiap santri.

"Ini Zizah, Kak," sahutku meski terdengar serak.

"Bangunkan semuanya yang sholat, ya, Zah!" titahnya.

"Iya, Kak."

Si ketua kamar langsung pergi setelah memberikan amanah itu padaku. Dengan nyawa yang baru saja terkumpul sempurna, aku lantas bangun, mencari tempat saklar lampu dan menyalakannya. Dengan begitu, aku yakin jika teman-teman akan bangun dengan segera.

"Ca, bangun, Ca. Tahajud."

"Wawa, udah mau subuh, Wa."

"Sep, tangi wes subuh."

Begitulah caraku membangunkan mereka. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menepuk pipi mereka dengan cukup pelan, menyibak selimut, sampai mengguncang badannya agar segera meninggalkan alam mimpi. Beruntung Ophi dan Karin sudah bisa bangun mandiri, jadi pekerjaanku lebih cepat selesai.

"Lai-"

Ketika aku berbalik arah ke tempat tidur Laila, sosok itu sudah tidak ada di sana. Kukira dia masih tidur, ternyata hanya ada guling yang ditutupi selimut. Kemana gadis itu pergi sepagi ini? Apa semalam dia tidak tidur?

"Zah, mau ikut nggak?" tanya Ophi setelah memakai jilbabnya asal-asalan.

Lihat selengkapnya