Si Cadar Hitam

Almayna
Chapter #5

Penelusuran Pertama

Baru jam dua dan matahari sudah tidak seterik satu jam yang lalu. Tepat saat itu, seluruh siswa baru yang mengikuti kegiatan MPLS hari pertama berduyun-duyun keluar kelas masing-masing. Hampir semuanya sudah tidak memakai atribut karena alasannya sudah sangat jelas. Selain membuat pemakainya terlihat sedikit memalukan, mengenakan atribut yang kadang menurutku nyeleneh itu sangat tidak nyaman. Contohnya tas karung dan kacamata kawat ini.

Kalau saja tidak ada hukuman bagi yang melepasnya, pasti aku sudah membuangnya di tempat sampah. Sayang sekali, semua anggota OSIS begitu setia menemani di setiap sesi acara hari itu. Jadi, mana sempat aku melepaskannya bahkan membuangnya. Beruntung, besok kacamata kawat itu tidak terpakai lagi. Namun, rasa malu sepertinya akan bertambah dari hari ini. Besok, kami--semua siswa baru--justru diminta memakai kacamata dari kacang panjang. Sangat aneh, bukan?

"Iza!" Caca memanggil. Dia dan Karin ditempatkan di kelas sebelah. Tepatnya kelas sepuluh IPA-3. Sementara aku, Ophi, dan Laila di kelas IPA-2. Sisa Wawa dan Septy, tadi mereka ditarik oleh salah satu pengurus OSIS ke ruang IPA-1. Meski pisah-pisah, kami bersyukur kelas kami tetanggaan.

"Btw, kalian tadi dikasih info pakai atribut apa besok?" tanya Septy. Kami bertujuh kini sedang dalam perjalanan menuju asrama.

Aku mengangguk tanpa ekspresi. Mengingat atribut-atribut yang harus dipakai besok membuat semangatku jadi berkurang. Kacamata kacang panjang, topi bola, ditambah rompi dari tali rafia. Aku sudah membayangkan segembel apa penampilanku besok.

"Mau bikin kapan? Jujur, aku sama sekali nggak ada gambaran tentang kacamata dari kacang panjang itu." Wawa mengeluh. Sepertinya, dia sama frustasinya denganku.

"Ntar malam lah habis ngaji." Ophi menimpali.

"Habis ini nggak bisa?" tanya Septy.

"Aku sama Zizah, sih, nggak bisa. Soalnya, kita mau ke kamar mandi pojok." Ophi menjelaskan rencana yang sempat terlupa. Kalau saja dia tidak mengatakannya, aku pasti akan langsung tidur setelah tiba di kamar nanti.

Mereka yang mendengar rencana Ophi langsung mengerutkan kening. "Kalian jadi mau ke sana?" tanya Karin tidak percaya. Mungkin selain Karin, mereka juga mengira jika ucapan Ophi tadi hanya bercanda.

"Jadi, dong. Mumpung masih terang. Kalian kagak ada yang mau ikut?" tanya Ophi menatap wajah semuanya--selain aku--secara bergantian. "Seru tau, eksplorasi sesuatu. Siapa tahu di sana nemu harta karun."

Wawa kembali memasang wajah merinding. Aku yakin, dia tidak akan berani ikut. Sementara yang lainnya, terlihat berpikir. Mungkin akan ada dari mereka yang berubah pikiran dan ikut penasaran.

"Aku mau ikut, deh." Akhirnya Septy berhasil terbujuk oleh kata-kata Ophi. Tinggal menunggu respon yang lainnya.

"Aku juga!" seru Karin. Kurasa, jiwa petualangnya mulai muncul ke permukaan.

"Boleh, deh. Lagipula di asrama nggak ngapa-ngapain." Caca juga sudah mengambil keputusan. "Ila ikut, kan?" tanyanya pada gadis di sebelahku. Kontan, kami semua juga melihat ke arahnya.

"Aku dijenguk siang ini, jadi tidak bisa ikut," jawabnya. Kami semua mengangguk paham. Mungkin Laila adalah anak semata wayang di keluarganya. Terlihat dari hubungannya dengan sang orang tua yang tidak mau lama-lama tidak ketemu.

Ah, andai mama juga bisa menjengukku setiap hari seperti Laila. Pasti uang sakuku akan tetap aman karena tidak perlu membeli makanan. Namun, aku kembali ingat bahwa tujuan orang tuaku ingin aku tinggal di sini untuk belajar mandiri dan mengelola uang sendiri. Kalau dijenguk setiap hari, kapan mandirinya?

"Beneran, La? Jadi, aku sendirian, dong, di asrama?" Wawa yang sejak tadi belum bersuara, kini tiba-tiba menyahut.

"Nah, kan. Mending ikut kita aja, Wa." Ophi memberikan saran. "Lagipula, ini masih siang bolong. Apa yang kamu takutkan?"

"Iya, iya. Aku ikut, deh." Wawa akhirnya mengalah. Aku tahu dia orangnya seperti apa. Daripada sendiri di tempat nyaman, lebih baik sama-sama walau di tempat menakutkan. Kira-kira itulah opiniku tentang gadis berwajah chubby itu.

***

"Eh, ini, kan bukan sumur bor, tapi sumur biasa yang nggak dimanfaatkan lagi," papar Caca setelah kami tiba di dekat tempat tujuan.

Entah memang benar-benar sudah dekat atau tidak, aku tidak yakin seratus persen. Karena malam itu, aku belum sampai sumur yang begitu lebar nan dalam ini. Kak Arum keburu menemukanku waktu itu.

"Katamu, kamar mandinya dekat sumur bor, Zah." Ophi melempar pertanyaan padaku secara tidak langsung.

Lihat selengkapnya