"Bagaimana perasaan kamu setelah di sini, Sayang? Kamu baik-baik saja, kan?" tanya seorang wanita pada anak gadisnya. Saat ini, mereka tengah berada di salah satu saung dekat kantin asrama. Tempat yang biasa digunakan oleh para santri untuk menemui orang tuanya ketika datang menjenguk, sama seperti aula pertemuan.
Tidak banyak orang yang berlalu lalang di sana karena waktu masih siang. Mayoritas penghuni pesantren pasti sedang istirahat di kamar asramanya masing-masing. Apalagi di masa-masa ajaran baru seperti ini. Jarang sekali para santri--khususnya santri baru--berpanas-panasan di sekitar asrama. Biasanya, mereka akan keluar setelah agak sore nanti.
"Sayang?" Wanita yang masih terlihat awet muda itu kembali memanggil anak gadisnya, kini dengan kedua tangan yang meraih dan menggenggam tangan dingin itu.
"Aku mau pulang, Ma."
Empat kata itu sukses mengendurkan genggaman tangan wanita itu. Raut kaku di wajahnya sudah cukup mengekspresikan bagaimana perasaannya saat ini. Kedua matanya bergerak cepat ke sisi samping demi mengalihkan pandangannya.
"Aila, Sayang. Kamu, kan, baru kemarin datang ke sini, Nak. Masa sudah mau pulang, hm?" kata wanita itu berusaha keras mencari kalimat yang tepat untuk membalas ucapan putrinya tadi. Tangan dingin itu kembali digenggamnya agar netra anak gadisnya tertuju padanya.
"Aila takut kangen sama Mama, ya?" Gadis di depannya menggeleng dengan segera. "Mama janji, deh, Mama akan setiap hari datang jengukin Aila, ya."
"Orang tua santri hanya diperbolehkan datang menjenguk maksimal sekali seminggu. Itu peraturan asrama." Gadis tadi bersuara, tapi tatapannya tetap mengarah lurus ke depan, bukan ke wajah mamanya yang duduk di sebelahnya.
Wanita itu terlihat menghela napas panjang. Meski sudah tahu maksud dan keinginan putrinya, tapi dia akan berusaha agar putrinya bertahan di sini. Karena hanya tempat inilah, anak gadisnya akan aman.
"Eum, Aila sudah makan makanan yang Mama siapin kemarin?" tanya si wanita kembali mengalihkan pembicaraan.
Mendengar itu, kepala si gadis perlahan menoleh ke arah mamanya. Dengan tatapan sayu itu, dia perlahan mengangguk, meski terlihat ragu. "Sudah," jawabnya berbohong.
Benar, gadis itu tidak mengatakan yang sebenarnya. Makanan yang dimaksud mamanya tidak dia makan kemarin, justru dia buang ke tempat yang tidak mungkin ada orang lain yang mengetahuinya.
"Syukurlah kalau Aila sudah makan," ujar wanita tersebut tanpa menaruh curiga sedikit pun pada putrinya. Entah karena dia pura-pura percaya atau memang tidak sadar jika anaknya sedang berbohong, wanita itu tetap tersenyum. "Pokoknya, Aila nggak boleh makan apapun selain makanan yang sudah Mama siapkan, ya."
"Kenapa tidak boleh?" tanya gadis itu dengan wajah datar tanpa ekspresi apa-apa.
"Pokoknya, Aila patuh saja dengan apa yang Mama bilang, ya. Mama lakuin ini demi kebaikan Aila sendiri." Wanita itu kini memajukan badannya dan merengkuh tubuh kurus itu dalam dekapannya. "Kalau Aila butuh sesuatu, Aila bilang ke Mama, ya, Sayang."
"Aku mau pulang, Ma," kata gadis itu mengulang kalimat yang sama. "Di sini bukan rumahku."
Wanita tersebut mengangguk paham, tapi tidak ada yang bisa dia perbuat sekarang selain mempertahankan anak gadisnya agar tetap di tempat ini, membiarkan dia membaur dengan orang lain selayaknya manusia biasa pada umumnya. Dengan begitu, dia bisa percaya jika putrinya masih ada di sisinya.
"Bawa aku pulang dari sini, Ma. Aku takut." Gadis itu bergumam lagi, tepat di telinga mamanya. Hal tersebut membuat sang mama mengendurkan pelukannya, lalu menatap wajah yang hanya tampak matanya itu dengan penuh pertanyaan.
"Ada yang gangguin Aila di sini?" tanya sang Mama. Gadis yang dipanggil itu mengangguk kaku. "Siapa, Sayang? Katakan, siapa yang berani mengganggu anak Mama?"
"Aku nggak tau namanya siapa, Ma. Malam itu, dia hanya memintaku agar segera pergi dari sini. Kalau aku tidak pergi, dia akan terus menggangguku, bahkan mengusirku sampai aku benar-benar pergi."
Gadis berwajah pucat itu menceritakan kejadian yang dialaminya malam itu. Malam saat dia pergi ke kamar mandi dan bertemu dengan seseorang yang dia tidak tahu siapa. Dia hanya mengingat bagaimana ucapan dan rupa orang itu.
Jika dia mengingat kembali, orang itu memiliki wajah sangat gelap dengan beberapa luka lebam di sekitarnya. Matanya memerah, tapi bukan seperti orang yang habis menangis. Bibirnya pun membiru seolah darahnya membeku di sana. Pakaian yang dikenakan oleh orang itu juga begitu lusuh dan kumal. Seperti ada bekas-bekas tanah. Bau badannya pun begitu menyengat.