Si Cadar Hitam

Almayna
Chapter #7

Cerita Bibi Kantin

Kami--aku, Ophi, juga Septy--tiba di ruangan ustadzah Dilla sekitar sepuluh menit kemudian. Pagar yang tertutup dari luar sepertinya sudah cukup menjelaskan bahwa semua ustadzah kemungkinan tengah istirahat siang. Hal tersebut membuat keinginan kami sempat terurung dan memilih untuk diam sebentar di depan gerbang, belum berani masuk.

"Mau kasih tau sekarang apa nanti?" tanya Ophi mewakili isi pikiranku.

"Sekarang aja nggak, sih? Mumpung masih siang. Kalau malam, takutnya mereka pada nggak bisa."

Aku mengiakan usul Septy barusan. Kemarin, setelah acara pengenalan lingkungan asrama selesai, aku baru tahu jika asrama Khadijah, Fathimah, juga Aisyah hanya diurus oleh enam orang ustadzah. Di atas mereka, ada Umi Kalsum selaku pengasuh asrama putri, sekaligus istri dari kiai Habib, pemilik pesantren ini. Masing-masing dari mereka diberi amanah untuk mengawasi ketiga asrama putri di pesantren ini. Selain itu, dalam pelaksanaannya, mereka juga dibantu oleh ketua kamar yang sudah dipilih dari setiap ruangan yang ada di asrama ini. Jadi, kurasa para ustazah itu tidak terlalu kerepotan untuk mengurus ratusan santri putri.

Ah, kenapa aku jadi membahas sistem kepengurusan di pesantren? Harusnya aku ikut memikirkan langkah apa yang akan kami ambil setelah ini. Apakah tetap melangkah masuk, lalu menjelaskan semuanya, atau menunggu nanti sore saja? Hari ini Senin, jadwal mengaji sore sepertinya kosong.

"Kalau sore habis sholat jamaah, gimana? Aku rasa, hari ini tidak ada jadwal mengaji, kan?" usulku kemudian. Beruntung, tadi aku sempat ingat jadwal kegiatan selama di asrama.

"Nah, iya." Septy rupanya setuju dengan usulku tadi.

"Ya sudah, deh. Nanti sore aja nemuin ustazahnya," tambah Ophi. Fiks, kami akhirnya memutar badan dan kembali menarik kaki dari tempat itu menuju asrama.

Lima menit berjalan kaki, kami bertiga akhirnya sampai juga di lantai atas. Dari jarak beberapa meter, aku bisa mendengar suara Wawa dan yang lainnya. Ketika sampai rak sepatu, pemilik suara itu akhirnya keluar bersama Caca.

"Kalian baru kembali?" tanya Caca. "Udah bilang ke ustadzah?"

Ophi yang sudah melepas sepatu lebih dulu menggeleng. "Rumahnya sepi, kayaknya lagi pada istirahat."

"Oh, begitu." Wawa mengangguk paham.

"Kalian pada mau ke mana?" Septy yang juga sudah menata sepatunya ikut menyahut.

"Mau beli siomay di kantin. Mau nitip nggak?" Wawa yang sudah siap dengan sendal jepit warna hijau mudanya segera memberikan penawaran.

"Aku ikut aja, deh," kata Septy, segera masuk untuk meletakkan tas dan keluar dalam hitungan detik.

"Oke. Ada yang mau nitip sesuatu?" Wawa kembali menawarkan.

"Aku titip boleh nggak, Wa?" Aku merasa sangat lapar siang ini. Mungkin karena di rumah terbiasa makan tiga sampai empat kali sehari. Atau, paling tidak siang-siang begini adalah jadwal mengemilku tiap hari. Pantas saja perutku sudah keroncongan padahal tadi pagi sudah sarapan.

"Boleh. Mau ditambah apa? Kentang? Kubis?"

Sebelum menjawab pertanyaan Wawa tadi, tanganku lekas merogoh uang sepuluh ribuan di saku rok, lalu menyerahkannya pada gadis itu. "Campur aja, ya. Nggak usah terlalu pedas," tegasku. Karena memang, perutku sangat sensitif dengan makanan pedas.

Ketika selesai bicara, kulihat Wawa mengacungkan ibu jarinya. Karena tidak ada yang menitip lagi, mereka lantas pergi meninggalkan aku dan Ophi yang masih berdiri di depan pintu. Tidak lama setelah kepergian mereka, Karin juga ikut keluar bersama Laila. Entah akan ke tempat mana mereka sekarang.

Setelah melihat kami di depan pintu, Karin pun mengatakan kalimat yang sama dengan Caca tadi. Ophi juga kembali menjawab dengan ucapan yang sama juga.

"Mau ke kantin juga?" tanyaku.

Lihat selengkapnya