Si Cadar Hitam

Almayna
Chapter #9

Tragedi Mati Lampu

Juni, 2023. Pondok Pesantren Darussalam.

Waktu itu, sekitar pukul sepuluh malam Jum'at Kliwon, seluruh santri membubarkan diri dari masjid usai mengikuti kegiatan sholawatan. Santri laki-laki kembali ke asramanya, begitu juga dengan santri putri. Namun, ada satu orang yang belum juga beranjak dari tempatnya bahkan ketika tempat tersebut sudah sepi.

Tatapannya kosong menghadap depan dengan kedua tangan memeluk lutut. Sesaat kemudian, kepalanya dia tenggelamkan di antara pelukan lututnya. Punggungnya pun bergetar secara perlahan. Siapa pun yang melihatnya pasti akan langsung mengerti jika dia tengah menangis.

Beruntung waktu itu ada seseorang yang menyadari kehadirannya. Salah satu pengurus di asrama segera menenangkan dan memintanya untuk kembali ke asrama. Ketika dalam perjalanan, santri putri tersebut ditanya kenapa, lalu dia hanya menjawab, "Saya mau pulang."

Sepertinya, si pengurus mengerti jika santri tersebut tengah merindukan keluarganya di rumah, dan dia pun membolehkannya jika ingin pulang besok. Kebetulan juga, waktu liburan semester sudah dekat. Karena itulah, santri tadi berhenti menangis dan kembali tenang setelah tiba di gerbang asrama.

Di sana, seperti biasa, para santri yang belum sempat menyelesaikan pekerjaan sehari-harinya siang tadi pasti akan menyelesaikan semuanya ketika malam. Tidak peduli selarut apapun waktunya. Karena peraturan waktu itu, santri hanya tidak boleh keluar area asrama di atas jam dua belas malam. Dulu, peraturan asrama memang tidak seketat sekarang. Karena itulah, sekarang mereka sudah terlihat sibuk dengan kegiatannya sepulang dari masjid.

Mayoritas dari mereka kini terlihat tengah menenteng ember yang sudah penuh dengan pakaian di tangan kiri dan kanan, siap untuk mencuci baju di dekat sumur. Karena biasanya, tempat itu akan menjadi langganan santri mencuci. Tentu, menjadi tempat pilihan bagi mereka yang tidak ingin mengantri lebih lama untuk mendapat kamar mandi.

Selain karena sumur tersebut masih satu wilayah dengan asrama, di sana juga sudah disediakan tempat mencuci yang cukup luas, keran air dan juga timba. Sehingga, para santriĀ  lebih leluasa menimba air agar pekerjaan mereka lebih cepat selesai. Apalagi jika jumlah santri yang mencuci waktu itu lumayan banyak, kehadiran timba tersebut sangat memberikan solusi agar santri tidak mengantri terlalu lama.

Selain kegiatan mencuci malam tersebut, santri yang lainnya juga tidak kalah sibuk mengurusi pekerjaan mereka. Terlebih bagi mereka yang memiliki tanggungan tugas sekolah, tugas kelompok, bahkan deadline lain, pasti sekarang sudah memenuhi saung juga halaman asrama yang cukup luas dan berumput hijau. Tidak jarang, mereka semua menyelesaikan tugas-tugasnya di tanah lapang tersebut sambil rebahan, tentu dengan tikar sebagai alasnya.

Sementara, bagi mereka yang tidak memiliki beban tugas atau bebas dari pekerjaan, memilih untuk ikut tiduran di atas tikar sambil melihat bintang atau membaca ulang kitab-kitab yang sudah dipelajari. Kadang, ada juga yang memilih dapur untuk mengisi perut mereka usai sholawatan sejaman. Malam itu, semua penghuni asrama putri nyaris punya kesibukan masing-masing tanpa terkecuali.

Namun, tidak bertahan lama setelah semuanya tengah sibuk dengan urusan pribadi, semua lampu di area asrama putri tiba-tiba mati. Hal tersebut tentu membuat semua santri terkejut dan menimbulkan keributan. Terutama bagi mereka yang kini masih mencuci di sumur.

Saat suasana sedang gempar dan dalam keadaan gelap gulita tersebut, para pengurus segera turun tangan untuk menenangkan keadaan. Beberapa ustazah segera mencari penerangan, ada juga yang langsung berlari ke rumah kiyai untuk meminta bantuan.

Lihat selengkapnya