Akhirnya, setelah melewati hampir lima belas menit perjalanan dari masjid pesantren, kaki kecilku ini berhasil menapaki lantai asrama yang mulai mendingin. Mungkin karena cuaca dan udara akhir-akhir ini yang memang lagi dingin-dinginnya. Makanya telapak kakiku langsung kaget ketika baru saja melepas sendal. Sontak, ku urungkan niat untuk nyeker sampai lantai atas.
"La, kamu duluan aja ya ke kamar. Aku mau cuci kaki sebentar. Kayaknya kotor, deh," kataku sambil mengecek kondisi kaki yang sudah tertempel debu.
Laila mengangguk tanpa bersuara seperti biasa. Setelah dia naik tangga, barulah aku memutar badan ke arah utara. Beruntung, saat hampir sampai halaman kamar mandi khusus asrama Khadijah, aku bertemu dengan teman-teman kamar yang lain. Sontak, ku panggil salah satu di antara mereka untuk dimintai tolong.
"Wa! Wawa! Sini!" Sepertinya, hanya gadis itu yang sedang tidak membawa apa-apa di tangannya.
"Apa, Zah?" tanyanya ketika baru tiba di sampingku.
"Mau ke ruangan, kan?" Dia mengangguk cepat. "Titip kitab sama Al-Qur'an, ya." Segera ku serahkan benda-benda yang kusebutkan tadi padanya. Tentu dia kaget, tapi segera ku jelaskan, "Aku mau ke kamar mandi sebentar. Mau cuci kaki. Nggak mungkin, kan, bawa Al-Qur'an ke sana?"
Wawa akhirnya mengangguk paham. Dia pun melenggang dari hadapanku tanpa berkata apa-apa lagi. Ketika gadis tadi sudah kembali berkumpul dengan yang lainnya di depan ruangan lantai satu, barulah aku bergegas menunaikan keinginanku sebelum kamar mandi tersebut semakin sepi.
***
Jika bagi santri yang lain, malam adalah waktu yang tepat untuk istirahat dan melepas lelah akibat seharian beraktivitas, maka hal itu berlaku sebaliknya untukku. Terlebih malam Senin seperti ini. Aku harus menghabiskan waktu sampai hampir larut untuk mempersiapkan segala keperluan sekolah besok. Mulai dari materi apakah sudah dipelajari atau tidak, peralatan sekolah apakah sudah lengkap atau tidak, bahkan pakaian apakah sudah rapi dan wangi atau tidak.
Walaupun di asrama tidak diperbolehkan untuk membawa setrika, aku harus tetap menjamin semua pakaian yang akan aku kenakan wangi dan rapi. Setidaknya, untuk pakaian sekolah. Salah satu caranya adalah dengan langsung melipatnya setelah pakaian tersebut kering atau diangkat dari jemuran.
Karena jika pakaian sudah rapi, bersih, apalagi wangi, akan menambah rasa percaya diri dan konsentrasiku dalam belajar di kelas. Entahlah, aku tidak tahu hubungannya apa, tapi jujur hal itu sangat berpengaruh bagi orang sepertiku. Mungkin karena sudah dibiasakan sejak kecil oleh orang tua, jadi masih dipegang kuat sampai sekarang.
Omong-omong tentang orang tua, di saat sedang belajar seperti ini, aku jadi rindu susu coklat buatan ibu. Biasanya kalau malam, apalagi di saat aku sedang belajar di kamar, biasanya ibu akan datang membawa senampan asupan untuk menemani belajarku. Huft. Tidak terasa, sudah hampir seminggu aku tinggal di asrama, dan aku merasa sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih mandiri.
Bajuku sudah tidak dicucikan ibu lagi. Makan pun sudah tidak perlu dipanggil berkali-kali agar aku turun ke meja makan sampai membuat ibu yang mengalah untuk naik membawa makananku ke kamar. Tidur pun aku sudah bisa tanpa guling kiri kanan dan boneka beruang besar. Karena sebelumnya, dua guling itu harus ada di sampingku sebelum aku terlelap. Namun sekarang, tidur beralaskan kasur busa tipis yang dilengkapi dengan satu bantal saja sudah terasa nikmat sekali. Mungkin efek capek satu hari mengikuti kegiatan sekolah dan asrama.
Ya, pelan-pelan semua kebiasaan yang kurasa memang cocok diubah mulai terlihat satu persatu. Meski diawali dengan hal-hal yang memberatkan seperti peraturan ini itu, tapi aku bersyukur karena aku mampu bertahan sampai hari ini, bertemu dengan teman-teman random seperti keenam teman kamar. Sebab, bersama mereka rasa homesick, pengin pulang, pindah sekolah, malas, dan lain-lain menjadi berkurang dan bisa teratasi.
"Boleh aku ikut di sini?"
Suara seseorang di belakangku sungguh berhasil menghilangkan semua pikiran-pikiran tadi. "Oh, boleh, La," jawabku cepat sebelum gadis itu mengurungkan niatnya dan kembali masuk ke kamar.
"Terima kasih," ucapnya kecil, tapi tetap bisa kudengar jelas.
Pandangan mataku masih mengekori gerak-gerik Laila, mulai dari dia mengitari tempat dudukku untuk mengambil posisi nyaman sampai dia mendaratkan bokongnya ke lantai putih yang di lapisi karpet mini.
Sebelum memilih belajar di depan teras kamar bersama teman kamar yang lain, aku memang sengaja menggelar karpet yang disediakan untuk para santri yang ingin beraktivitas di teras agar tidak dingin, terlebih malam-malam begini.
"Kamu mau belajar apa, La?" tanyaku kepo. Entahlah, aku memang selalu penasaran dengan gadis di sampingku ini. Semua kegiatannya ingin aku tahu, padahal sikap itu tidak baik jika dilakukan terus-menerus.
"Baca buku biologi." Dia menjawabnya sambil memperlihatkan buku siswa di tangannya. Kedua matanya sedikit melengkung seperti bulan sabit, mungkinkah dia sedang tersenyum? Ah, andai saja aku bisa melihat senyum itu. Pasti dia sangat cantik dibalik balutan kain hitam itu.