Si Cadar Hitam

Almayna
Chapter #13

Itu Bukan Mimpi

Untuk pertama kalinya aku menunggu datangnya hari Senin itu. Biasanya, tingkat kemalasanku selalu meningkat drastis ketika hari Minggu akan berakhir. Mungkin karena padatnya jadwal yang harus dikerjakan di sekolah dan asrama, makanya aku sangat menyayangkan jika hari libur ini harus usai secepat ini.

Setelah memasukkan semua buku yang sempat menemaniku belajar semalam, aku langsung bangkit dari depan lemari menyusul Ophi dan Karin yang masih memakai sepatu. Sementara Wawa, Caca, juga Septy sudah berangkat lebih dulu karena hari ini mereka piket.

"Habis darimana, La?"

Pertanyaan yang dilontarkan Karin segera mengurungkan niatku untuk mengambil sepatu. Aku mendongak, melihat ke arah Laila yang baru datang entah darimana. Sepertinya, dia habis dari masjid pesantren karena mukenanya masih terbalut di badannya.

"Jalan-jalan sebentar," jawabnya dengan suara halus seperti biasa. Aku bisa melihat Ophi mengangguk. Sementara aku masih penasaran kemana gadis itu jalan-jalan pagi-pagi begini? Apa dia tidak bersiap ke sekolah?

"Kamu udah enakan, Zah?" tanya Laila dengan pandangan sudah tertuju padaku. Tentu, aku segera mengangguk lalu menyunggingkan senyum.

"Alhamdulillah, aku nggak apa-apa, La." Ucapanku terjeda lantaran masih mengikat tali sepatu. "Kamu nggak siap-siap ke sekolah?"

"Tadi aku titip surat ke Caca. Aku izin hari ini," jawabnya membuatku dan Ophi saling lihat. Mungkin kami sama-sama terkejut mendengar alasannya.

"Kenapa?" Suaraku dan Ophi juga kompak keluar.

"Aku merasa agak tidak enak badan dari semalam. Makanya, tadi sebelum balik ke asrama, aku jalan-jalan sebentar."

"Kamu sakit?" tanya Ophi dengan gerakan yang begitu spontan langsung mengangkat tangannya untuk menjangkau dahi Laila. Sayangnya, sebelum kening putih pucat itu berhasil tersentuh, tangan Ophi sudah lebih dulu ditahan olehnya.

"Ya, hanya pusing sedikit. Kalau istirahat mungkin bisa lebih mendingan," sambungnya, membuat Ophi segera menarik tangannya kembali. Mungkin ucapan tersebut cukup memberikan jawaban atas kekhawatiran kami.

"Ya sudah. Kamu istirahat gih. Kami berangkat dulu, ya." Ophi menarik lenganku agar segera berangkat sekolah. Sebelum itu, dia sempat menampilkan senyum pada Laila dan mendoakannya agar segera sembuh. Aku pun sama. Bedanya, aku hanya mendoakannya dalam hati dan berharap dia akan baik-baik saja sendiri di kamar sampai siang nanti.

***

Ada yang terasa berbeda dengan kelas pagi ini. Aku yang biasanya selalu antusias dan bersemangat mendengarkan kisah sejarah masa lalu, kini nampak tidak bergairah. Bahkan, sepanjang pak Didik menjelaskan proses masuknya Islam di tengah-tengah kaum Arab yang fanatik dengan agama berhalanya, aku hanya diam dengan tangan yang memangku dagu.

Pandanganku memang tertuju ke arah papan tulis, tapi pikiranku tengah beterbangan kemana-mana. Kejadian yang ku alami semalam adalah salah satu alasannya. Entah bagaimana caranya menghilangkan ingatan tentang Laila itu yang kata teman-teman adalah sebuah mimpi, tapi terasa begitu nyata. Karena sepanjang usia, belum pernah aku mimpi seburuk itu.

"Zah? Azizah!" bisik Ophi membuat mataku dengan cepat melihat ke arahnya.

"Apa?"

Lihat selengkapnya