Si Cadar Hitam

Almayna
Chapter #14

Kepala Tanpa Badan

Akhirnya, aku kembali bisa menghirup udara segar yang dibalik rindangnya pohon jambu belakang sekolah. Usai kelas terakhir yang diisi oleh Pak Ikmal selaku guru bahasa Arab, aku dan Ophi memutuskan untuk menunggu teman-teman yang lain di bawah pohon yang buahnya sudah terlihat memerah semua. Selain ada gazebo di sana, duduk beberapa menit di tempat hening nan sejuk itu rupanya bisa menenangkan isi pikiran yang semalam sampai tadi pagi sangat berantakan.

"Cuaca panas dan angin keras kayak gini, biasanya banyak buah yang jatuh," beo Ophi. Itu adalah salah satu alasannya memilih tempat ini. Selain bebas dari anak cowok, tempat itu sangat aman untuk berleha-leha karena letaknya tepat di belakang bangunan pertama. Di samping kiri terdapat jalan pintas yang menghubungkannya dengan asrama. Jadi, dia bisa menunggu buah jambu jatuh agar bisa dikonsumsi sepanjang perjalanan balik ke asrama nanti.

Puk!

Tepat sasaran. Tidak lama setelah mengatakan opininya, gadis di sebelahku itu bergerak dengan begitu cepatnya mengambil tiga buah jambu air yang baru saja jatuhnya tertiup angin. Belum sempat Ophi bergeser posisi, beberapa buah jambu itu kembali jatuh tepat di belakangnya. Untung gadis itu sedang membungkuk. Jika tidak, mungkin kepalanya sudah berdenyut akibat kena buah yang jatuh itu.

"Namanya rezeki, ya, pasti akan mencari jalan untuk menemukan pemiliknya," ucapnya terlihat begitu puas dengan beberapa buah jambu di kedua tangannya.

Aku tersenyum melihat wajah bahagia Ophi membawa buah merah segar yang sejak tadi dia inginkan itu.

"Nih, Zah. Makan." Ophi menawarkan buah itu padaku, padahal dia sendiri belum sempat memakannya. "Wah ... manis banget asli. Kamu harus cobain, Zah," serunya sambil menyodorkan potongan buah yang sudah dia bagi dengan tangannya.

"Makan aja, Phi," tolakku pelan sambil tersenyum. Jika saja moodku sudah membaik, pasti aku langsung menerima buah itu karena sudah tergiur dengan tampilannya. Namun, ada sesuatu yang masih membuatku belum bersemangat seperti biasa.

"Lho, kenapa? Ini halal, lho, Zah. Aman, aman," kata Ophi belum menyerah. Aku semakin melebarkan senyum mendengarnya. Apa dia berpikir aku tidak mau makan buah itu karena belum mendapat izin dari pak kiyai?

"Ophi!!! Apa itu?? Mauu dong!!!"

Suara teriakan itu sontak mengalihkan perhatianku dan Ophi. Sekitar lima meter dari tempat kami, Wawa, Septy, dan Caca terlihat sudah berdiri dengan tas favoritnya. Mereka bertiga langsung berlarian ke arah kami. Sementara Karin masih berjalan santai di belakang.

Sebelum terkena serangan dari teman-teman, Ophi segera menyodorkan buah jambu yang belum dia makan itu pada mereka. Biarkan saja mereka memilih sendiri buah mana yang mau mereka ambil.

"Ih, jambu air! Kok bisa dapat?" tanya Wawa kegirangan. Terlihat dari caranya melahap potongan buah tersebut.

"Baca bismillah dulu, Wa. Itu jambu punya yayasan," tegur Ophi dengan wajah dibuat serius, padahal dalam hati dia tengah menahan tawanya. Apalagi melihat reaksi Wawa setelahnya.

"Mffppptt! Maksudnya, ini buah nggak halalan toyyiban?" tanya Wawa terlihat sedikit panik. Aku yang melihatnya langsung menutup mulut dengan tangan agar tawaku tidak menyembur keluar.

"Ya makanya disuruh baca bismillah biar jadi halal." Karin yang mengambil buah paling akhir menyahut. Sementara dia sendiri sudah melahap sebagian daging buah yang baru saja dipilihnya.

Lantas, Wawa dan Caca segera menengadahkan tangan dan membaca basmalah lengkap dengan doa sebelum makan. Malah, si Caca menambahkan dengan beberapa kata-katanya.

"Ya Allah, halalkan buah jambu ini untuk hamba makan, ya. Soalnya udah lama banget ngejaga dan memantau buah ini dari jauh. Khawatirnya nih, ya, hamba ileran kalau nggak makan sekarang."

"Aamiin." Wawa menutup doa yang diucapkan Caca dengan usapan tangan pada wajahnya. Tentu, tingkah polos kedua gadis itu berhasil memecahkan tawa yang sempat tertahan.

"Kenapa nggak ikut aminin, Septy? Ntar kamu sakit perut lho," ungkap Wawa dengan mulut yang kini penuh dengan daging buah jambu itu.

"Buah ini juga jatuh sendiri kali. Mana bisa bikin sakit perut?" balas Septy.

"Beneran, Phi?" Wawa segera meminta klarifikasi Ophi sebagai pemberi pertama.

"Iya. Tadi buahnya jatuh kebawa angin."

Lihat selengkapnya