Kilat kembali menyambar, persis di saat tanganku baru saja akan menyentuh gagang pintu kamar mandi. Karena kaget, aku langsung menutup telinga dan merapalkan beragam zikir setelahnya. Sejak kecil, aku memang takut dengan suara-suara menggelegar seperti itu.
"Biar aku aja, Zah." Ophi mengambil langkah lebih maju dariku. Ketika kulit tangannya baru saja akan menyentuh knopnya, pintu kamar mandi tersebut sudah terbuka. Bukan karena tiba-tiba, melainkan Laila yang keluar setelahnya.
"Kamu ngapain di sini, La?" tanya Ophi ketika gadis itu sudah berdiri di depan kami.
"Mencuci botol minum," jawabnya cepat sambil menunjukkan wadah bulat tempat menyimpan air itu.
Aku dan Ophi spontan ber-oh singkat. Tidak lama setelah itu, dia permisi dan terlihat buru-buru kembali ke ruangan. Sementara aku, lekas masuk dan menyelesaikan niatku datang kemari.
"Aku tunggu di sini, ya, Zah?" kata Ophi yang sudah menyandarkan punggungnya ke tembok. Aku segera menjawabnya dengan anggukan kepala.
Tidak sampai lima menit, aku sudah kembali keluar. Sayang, aku tidak menemukan Ophi di tempatnya menunggu tadi. Hal itu langsung membuatku kebingungan sekaligus sedikit panik. Tidak mungkin Ophi meninggalkanku seorang diri di sini.
"Phi?" Lantas, segera ku panggil namanya. Mungkin dia sedang membuang hajat di salah satu bilik.
"Ophii??" Aku memanggilnya sekali lagi sambil berjalan menengok satu persatu bilik kamar mandi. Semuanya terbuka kecuali satu pintu. Bilik paling pojok. "Oph-"
Baru saja akan menyebut namanya, gadis itu sudah menyembulkan kepala secara tiba-tiba. Bagaimana aku tidak terkejut melihat kepalanya di sana? Mana suasananya sangat sepi dan menghororkan sekali.
"Kamu ngapain di situ?" tanyaku akhirnya.
Sebelum menjawab pertanyaanku, gadis itu keluar lebih dulu sambil melihat sesuatu di lantai. Entah apa yang sedang diamatinya sampai segitu fokusnya. Bahkan dia sampai membungkukkan badannya.
"Ada apa?" Tentu, aku tidak pernah bisa menyembunyikan rasa penasaran jika berada di sekitarnya. Aku pun ikut membungkuk meskipun tidak tahu apa yang harus aku lihat di lantai putih itu.
"Tadi aku nggak sengaja nemu bercak darah."
"Hah?" Aku langsung berdiri tegak setelah mendengar ucapan Ophi. "Dari sini?"
Ophi juga menegakkan punggungnya, lalu mengangguk. "Kukira cairan apa, ternyata memang darah."
"Sekarang mana darahnya?" Aku kembali melihat lantai yang mungkin menjadi tempat bercak darah itu berada.
"Sudah ku siram."
"Mungkin darah haid, Phi." Aku menyimpulkan sesuatu yang paling bisa diterima akal saat ini. Mungkin saja, sebelum kami ke sini, ada santri yang datang dan membersihkan diri. Tidak jarang kalau darah haid bisa berbekas di lantai karena proses pembilasannya belum benar-benar bersih. Soalnya, aku sering menemukan hal-hal seperti itu ketika di kamar mandi umum.
"Mungkin." Ophi akhirnya menyetujui kesimpulanku.