Bunyi tarhim yang sayup-sayup menembus indera pendengaran berhasil membuat mata yang semula terpejam rapat terbuka pelan-pelan. Dengan rasa kantuk yang masih menggelayut kuat, mau tidak mau, aku harus memaksakan ragaku untuk bergerak. Setidaknya mengubah posisi dari berbaring menjadi menegakkan punggung. Aku yakin, cara itu bisa berhasil menghapus jejak kantuk yang merayu mata agar kembali terpejam.
Setelah berhasil menjadikan lemari kamar menjadi sandaran punggung, tanganku refleks naik untuk menutup mulut yang terbuka karena mengeluarkan napas. Ketika itu, mataku kontan tertuju pada jarum jam yang ternyata sudah mengarah ke angka tiga lebih lima puluh menit. Bisa dibilang aku terlambat bangun pagi ini. Karena biasanya, aku sering tiba-tiba bangun di jam tiga tepat. Atau mungkin lebih awal dari itu. Entahlah, aku juga tidak tahu apa penyebab pastinya. Mungkin saja lantaran tempat tinggalku yang berbeda dengan sebelumnya.
Usai menatap jarum jam yang terus saja bergerak memutar, menghabiskan detik demi detiknya, rasa kantuk di mataku perlahan berkurang. Penglihatanku pun sudah cukup jelas. Jika begitu, berarti seluruh ragaku sudah siap untuk diajak memulai aktivitas.
Tentu, tanpa membuang lebih banyak waktu karena melamun dan menghilangkan rasa ngantuk, aku segera menyibak selimut, melipatnya, lalu membereskan bantal agar kakiku bisa berjalan lebih leluasa. Namun, sebelum beranjak mengambil perlengkapan mandi, aku sempat melihat ke tempat tidur Karin. Spontan tanpa diminta, cerita yang sempat dia bilang semalam kembali terngiang di telingaku. Mungkin karena bercerita sampai larut malam itulah yang membuatku merasa sangat mengantuk pagi ini. Itu pun jika aku tidak ingat jika pagi ini ada piket di kelas, mungkin cerita tersebut akan tetap berlanjut sampai pagi menjelang.
"Semoga dia baik-baik saja."
Hanya itu yang bisa aku harapkan setelah mendengar kejadian yang menimpa Karin kemarin. Aku berharap, gadis itu tidak sakit ataupun trauma gara-gara peristiwa aneh itu. Dan semoga, tidak ada teman-temanku lagi yang mengalami hal yang sama untuk kesekian kali.
***
"Zah, menurutmu apa kita perlu lapor ke Bu Nyai?"
Suara itu bersumber dari arah belakang. Meski sudah tahu siapa yang baru saja berbicara, aku tetap menggerakkan kepala ke samping untuk melihat orang itu. "Maksudmu, tentang Karin?" tanyaku memperjelas objek yang dimaksud Ophi.
Saat ini, aku dan dia sudah berada di dalam kelas. Lebih tepatnya, Ophi tengah membantuku menjalankan tugas piket karena satu orang teman yang juga punya jadwal hari ini tidak masuk. Berhubung, dianya juga sedang tidak mempunyai kegiatan apapun di luar kelas seperti teman-teman lain, jadi lah sekarang gadis itu tengah sibuk membersihkan meja guru menggunakan kemoceng.
"Aku mendengar cerita kalian semalam," celetuk Ophi lagi, tanpa mengalihkan pandangannya dari kegiatannya. Sementara aku, tentu spontan diam karena terkejut dengan kejujurannya. "Jujur, sebenarnya aku mau ikut nimbrung bersama kalian. Aku mau cerita juga ke Karin tentang darah yang kulihat di kamar mandi, tapi aku urungkan."
"Kenapa?" tanyaku penasaran. Biasanya, gadis itu akan langsung menyahut jika dia tahu tentang sesuatu.
"Kurasa, kalau aku cerita, nanti Karin malah berpikiran macam-macam tentang pesantren dan dia tambah trauma, terus memutuskan untuk berhenti. Semoga, cukup kita yang tahu tentang kejadian yang sebenarnya."
Aku mengangguk paham. Lalu kembali melanjutkan kegiatan menyapu. "Kayaknya nggak mungkin, deh, Phi." Aku menyanggah ucapannya tadi. "Pasti teman-teman yang lain juga penasaran dan mau tahu tentang kejadian itu. Apalagi mereka melihat bagaimana kondisi Karin waktu itu."
"Ah, iya. Benar juga." Ophi akhirnya sependapat denganku. Jangankan kejadian menghebohkan seperti kemarin, dalam perkara kecil saja mereka tidak akan berhenti bertanya sebelum menemukan jawaban. Tidak bisa dibayangkan bagaimana tingkat penasaran mereka saat ini.
"Usulku tadi bagaimana?" Ophi kembali menanyakan hal yang belum sempat terjawab olehku tadi.