Hujan benar-benar turun tidak lama setelah azan sholat Ashar bergema ke seluruh penjuru pesantren. Untungnya, aku sudah benar-benar sampai asrama ketika gerimis mulai berjatuhan. Jika lebih lama di taman sekolah bersama Laila tadi, mungkin aku tidak bisa masuk sekolah besok gara-gara seragam sekolahku basah.
Berbicara tentang gadis bercadar itu, mungkin sekarang dia sedang istirahat di dalam kamar. Sementara aku yang ditinggal sendiri tadi baru saja sampai. Namun, meski sudah beberapa jam berlalu, sampai depan pintu pun aku masih teringat dengan pertanyaannya yang terbilang cukup aneh menurutku. Tumben-tumbenan Laila membahas masalah seperti itu. Apa dia benar-benar sedang sakit?
"Zah! Zizah!"
Aku terpelonjak kaget saat tangan seseorang mengguncang bahuku. Tidak terlalu keras sebenarnya, tapi sangat berhasil mengembalikan kesadaranku yang sempat melayang kemana-mana. Setelah guncangan itu berhenti, barulah aku melihat ke arah si pemilik tangan. "Awa."
"Ngapain bengong di depan pintu?" tanya Wawa. Tangan kanannya masih menempel di bahuku.
"Oh, itu. Aku lagi mikirin tugas Minggu depan, Wa." Aku berusaha mencari jawaban yang tidak menimbulkan pertanyaan baru lagi di benak gadis super penasaran itu. Bukan berarti aku berbohong. Tugas Minggu depan memang ada, tapi sebenarnya bukan itu yang menyita perhatian sampai membuat diam di tempat.
Aku tidak mungkin mengatakan apa yang terjadi di taman belakang sekolah tadi. Cukup aku saja yang tahu apa yang dibicarakan Laila tadi agar tidak menimbulkan persepsi lain lagi.
"Oh, ku kira apa." Wawa akhirnya tersenyum, lalu menurunkan tangannya. "Ayo, masuk. Udaranya dingin."
Aku mengangguk cepat dengan menepikan percakapan aneh tadi sementara. Jangan sampai aku kembali terciduk bengong seperti orang kesurupan di depan pintu kamar.
Setelah melepas sepatu dan meletakkannya ke rak, aku segera menyusul Wawa. Di sana, suara yang begitu ramai sontak menyambut langkahku yang baru masuk kamar. Ada Caca dan Septy yang sedang mengelilingi Karin. Sedangkan Ophi, terlihat sedang menulis sesuatu di depan lemarinya. Hanya dia yang tidak terlihat kepo dari teman-teman yang lain. Mungkin karena Ophi sudah tahu apa yang mereka hendak tanya dan bicarakan. Sementara Laila, gadis itu sedang berbaring membelakangi yang lain. Sepertinya, dia sedang istirahat, tapi ini sudah sore. Bisa saja dia hanya berbaring dan tidak tidur.
"Lho, kok baru datang, Zah?" tanya Ophi saat sedang meletakkan tas di atas lemari. Kebetulan, aku lewat di sampingnya tadi. Jadi, sudah tentu dia sempat melihatku tadi.
"Oh, itu. Aku baru selesai tulis rekapan yang diminta Bu Naya, Phi. Makanya, pulangnya telat banget." Aku menjawabnya sambil melepas jilbab. Setelah itu, barulah aku duduk di sebelahnya demi melepas penat dan mengeringkan keringat yang masih terasa. "Ngapain mereka bentuk lingkaran kayak gitu?" tanyaku pada Ophi, meski sudah tahu jawabannya.
Ophi dengan tangan yang masih menulis sesuatu menyahut. "Biasa. Masalah semalam."
"Karin cerita semuanya?" tanyaku lagi, tapi dengan intonasi lebih kecil.
"Sepertinya begitu." Gadis di sebelahku itu berhenti melakukan kegiatannya dan langsung menutup buku dan pulpennya. "Kayaknya, Karin mau nyimpan kejadian ini, Zah."
Aku menoleh cepat saat Ophi mengucapkan kalimat tersebut. "Jadi, kita tidak usah kasih tahu Bu Nyai?" Dia mengangguk menanggapi pertanyaanku tadi. "Ya sudah kalau maunya dia seperti itu."
Aku juga setuju dengan keinginan Karin untuk tidak memberitahu ketua yayasan tentang kejadian aneh itu. Aku yakin, Karin punya alasan tersendiri kenapa dia mengambil keputusan itu. Begitu juga denganku yang sempat mengalami kejadian aneh beberapa hari yang lalu. Selain aku belum tahu itu memang murni mimpi atau tidak, aku tidak ingin membuat siapapun khawatir. Karena jika memberitahu yayasan, orang tuaku juga pasti akan diberitahu dan aku tidak mau membuat mereka risau.
"Oh, iya, Phi. Kamu udah kasih tau Karin?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu yang sempat kami bicarakan ketika di kelas.
"Tentang apa?"
Itu bukan Ophi yang menyahut, melainkan Karin. Detik itu juga, kepalaku menoleh ke arahnya, bergantian ke arah teman-teman lain yang juga tengah melihat ke arahku dan Ophi. Aku lupa jika masih di dalam kamar. Mereka tentu mendengar apa yang aku katakan tadi.
"Iya, cerita tentang apa, Zah? Phi?" sahut Caca.